Part 10. Silent Mode

370 69 0
                                    

_____________

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


_____________

Erina menghentikan langkah begitu melihat tatapan intens dari sepasang mata elang di jarak sekitar 4 meter darinya. Entah sejak kapan lelaki itu berdiri di ujung anak tangga. Mengerutkan dahi dan menunduk, ia mengikuti titik pandang sosok tersebut. Tidak sampai lima hitungan, kepalanya yang berambut semibasah karena keramas pagi mendongak. Namun, fokus indra penglihatan itu masih terpusat pada kakinya yang terbalut perban.

"Ngapain lihatin aku kayak gitu?" Gadis berkemeja lengan pendek dipadu celana bahan model standar itu pura-pura memperlihatkan air muka tidak nyaman.

"Diam!" seru sosok itu saat dirinya akan mulai mengayunkan kaki. Begitu mereka berhadapan di jarak setengah meter, orang itu memegang lengan kiri atasnya dan bertanya, "Kenapa kaki kamu bisa begini? Ini kenapa?"

"Ohh, ini ...!" Erina mengangguk-angguk, seolah baru mengerti maksud Raka. Ia sengaja menunggu beberapa detik hingga melihat Raka menaikkan alis dan menatapnya dengan sorot menuntut. "Kemarin aku mecahin gelas dan ya ... nggak sengaja ngijek serpihannya. Beneran nggak sengaja kok, bukan karena coba-coba. Lukanya juga nggak parah."

Raka terlihat meragukan ucapan itu. "Nggak parah kok sampai diperban?!"

"Biar nggak infeksi dong," sahut Erina enteng.

"Kamu lagi ngapai sampai mecahin gelas?"

Senyum menggoda di bibir berpoles pink muda itu hilang. Garis lurus menggantikannya. Matanya yang sipit melebar. Blank melanda kinerja otaknya. Bagaimana ia akan menjawabnya?

Tidak mungkin, kan, dirinya bocor tentang kondisi Miranti sebenarnya? Kemarin ia sudah berjanji untuk tutup mulut.

Mata Erina bergerak-gerak gelisah sebelum akhirnya mendapat alibi. "Itu ... aku lagi keasyikan main hape sambil jalan sambil megang gelas. Terus kakiku kesandung karpet yang ada di ruang keluarga."

"Hobi kok terluka," cemooh Raka gemas.

"Yuk, ah, sarapan!" Erina menggandeng lengan kiri Raka. Saat mulai melangkah, pipinya menggembung dan perlahan menciut seiring embusan napas lega yang keluar dari lubang mulut.

"Pulang jam berapa kamu, Mas?" Tiba-tiba suara berat di belakang mereka muncul.

Tahu siapa pemilik suara itu, Erina diam saja, sedangkan lelaki di sampingnya menoleh ke belakang.

"Hampir jam dua," sahut Raka, lalu kembali melangkah.

Erina merasakan jika kini punggungnya menjadi sasaran tatapan lelaki yang baru saja keluar dari kamar itu. Entah hanya perasaannya atau memang seperti itu adanya, ia tidak melihat.

"Kamu berangkat kuliah jam berapa? Biar kuantar," tawar Raka saat mereka sudah menempati kursi makan.

"Beneran?" tanya Erina antusias.

"Nggak usah pakai antar-antar dia segala! Kamu nanti telat ke kantor," timpal Nenek yang lebih dulu menempati kursi makan. Erina menangkap tatapan tajamnya. "Tuh, cucian kotormu banyak! Kemarin libur ke mana aja? Bukannya beres-beres rumah, malah nyantai-nyantai."

Thank You, Erina!Where stories live. Discover now