Part 8. Hidden Tears

361 69 0
                                    

_____________

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

_____________

Suara dari gelas kaca yang berbenturan dengan lantai marmer terdengar nyaring di telinga. Jemari lentik Erina telah lepas kontrol karena mendengar rintihan Miranti. Pintu kamar yang terbuka lebar menghadap ruang keluarga membuatnya dapat melihat jelas sosok di dalam sana. Mamanya tengah memegangi perut kiri sembari berjalan ke arah pintu. Tinggal beberapa langkah lagi hingga perempuan itu sampai di ambang, tetapi kaki Miranti terlihat tidak menopang beban tubuh lagi.

"Mama!" Teriakan Erina menyusul suara pecahan itu. Kakinya yang tanpa alas menjadi sasaran empuk serpihan yang bertebaran di bawah, bias dengan warna lantai. Namun, ia tidak merasa dan terus berlari mendekati Miranti.

Miranti duduk bersimpuh di lantai dengan tangan kanan menahan beban tubuh. Ia masih memegangi perut kiri seraya meringis.

"Mama kenapa?" Wajah Erina semakin panik kala melihat air muka perempuan di hadapannya.

"Anu ... ini, perut Mama—"

"Sakit lagi?" potong Erina seraya memperhatikan bagian tubuh yang menyebarkan rasa tidak nyaman itu.

Setelah mendapat jawaban berupa anggukan, Erina mengangkat Miranti ke tempat tidur. Pikirannya benar-benar hanya fokus ke sang mama. Luka merah yang entah seberapa di telapak kakinya tidak dirasa sama sekali.

"Bagian mana yang sakit?" tanyanya seraya menyelipkan kedua rambut tergerainya ke belakang telinga dengan gerakan cepat. Matanya tertuju pada bibir pucat dan kering Miranti.

"Sini." Miranti mengusap perut bagian kiri.

"Sebentar, Ma."

Tanpa menunggu jawaban, Erina bergegas keluar dan naik ke kamarnya.

"Aw!" teriaknya kala saraf sensori mengirimkan rasa pedih. Ia berhenti di anak tangga pertama, lalu mengangkat kaki kanan. Ia meringis pelan saat menangkap empat bercak merah di sisi pinggir telapak kaki. Berpikir lukanya tidak seberapa, ia kembali berjalan cepat dengan kaki kanan jinjit.

Saat dirinya menuruni tangga, Bi Imah terlihat tengah melintas di ruang keluarga. Asisten rumah tangganya itu dari arah ruang tamu, entah baru melakukan pekerjaan apa.

"Bi Imah!"

Seruannya membuat Bi Imah menghentikan langkah dan menoleh ke kiri. "Iya, Mbak Er?"

"Tolong bersihin pecahan "

Tidak sampai 3 menit, ia sudah kembali dengan stetoskop dengan tulisan L latin di punggung diafragmanya. Lantas dirinya mengambil posisi duduk di samping Miranti. Tangannya dengan cekatan melakukan palpasi dan auskultasi di area sakit tadi. Begitu selesai memeriksa, ia terdiam sesaat.

"Ma, kita ke rumah sakit aja, ya?" pintanya dengan sorot mata cemas.

Miranti menggeleng. "Obat lambung Mama masih ada kok."

Thank You, Erina!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang