03. Tangis

139K 9.2K 70
                                    

"Maafkan saya, Azzam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Maafkan saya, Azzam. Saya benar-benar tidak tau kamu sudah lebih dulu melamar Farah," kata Alif penuh penyesalan pada sahabatnya.

Suara riuh dari dalam gedung mendominasi mereka, ditambah suara kendaraan yang berlalu lalang dari jalan raya. Pohon besar dengan daun hijau yang rimbun menjadi tempat mereka berteduh dari matahari pagi. Mereka memilih keluar gedung untuk bisa berkomunikasi tanpa Farahantya tahu soal lamaran mereka.

Hanya tersisa sakit dan penyesalan yang bisa Alif rasakan sekarang.

"Saya yang seharusnya minta maaf Alif. Saya tidak tau kamu mencintai sepupu jauh kamu sendiri. Saat saya tau dari Bu Nyai bahwa kamu tengah mempersiapkan lamaran untuk Farah, saya begitu menyesal," jelas Azzam dengan rasa yang begitu canggung untuk pertama kalinya.

"Selama ini saya tidak pernah cerita apapun tentang Farah pada kalian, termasuk perasaan saya. Saya hanya sibuk dikepolisian dan pondok, jadi wajar kamu tidak mengetahuinya. Sekali lagi maafkan saya. Saya tau kamu jauh lebih baik dari saya dan pantas untuk Farah. Selamat Bro!" ujar Alif mencoba mencairkan suasana mereka.

Alif menjabat tangan Azzam memberi selamat kepada sahabatnya. Bohong bagi Alif jika ia mengatakan ini semua tidak sakit. Niat baiknya untuk melamar perempuan yang ia cinta beberapa tahun belakangan, sudah didahului  sahabatnya sendiri.

Harapannya patah, niat baiknya terputus. Harus mengikhlaskan, meski belum pernah ia miliki.

Azzam tersenyum, sama-sama mencoba mencairkan suasana. "Sepertinya patah hati gus Alif gak akan lama."

"Patah hati, apanya?" tanya Alif mengelak dari kenyataan.

"Anak kecil pemilik kalung yang kamu bawa ke mana-mana itu. Saya bertemu dengannya."

"Jangan mencoba menghibur saya dengan berbohong," kata Alif tersenyum menatap wajah Azzam yang mencoba menghiburnya.

"Saya sedang tidak coba menghibur. Lahya Deemah, wajahnya masih sama seperti saat pertama dan terakhir kali saya melihatnya di rumah sakit," jelas Azzam mencoba meyakinkan sahabatnya ini.

Alif terkekeh, menepuk ringan bahu Azzam. "Tidak perlu sebegitunya untuk menghibur saya. Bagaimana bisa gadis kecil yang saya cari selama sepuluh tahun ini, begitu mudah untuk kamu bertemu dengannya?" tanya Alif dengan ketawa khas yang membuat matanya ikut tersenyum.

"Ya sudah. Gak apa-apa kamu anggap saya berhalusinasi melihat Lahya. Saya harap kamu bisa mengenalinya saat kalian bertemu."

"Aamiin. Peserta berikutnya dari ponpes kita. Saya amanahkan tanggung jawab ini kepada kamu ya, Azzam."

"Seperti baru kenal dengan saya. Saya dan Fathur sudah seperti anak bu Nyai dan pak Kiai, jadi saya merasa sedikit memiliki tanggung jawab yang sebenarnya jadi tanggungan Gus Alif."

"Kamu menyinggung saya?" tanya Alif dengan maksud ingin bercanda.

"Alhamdulillah kalo Gus Alif tersinggung. Saya harus pamit masuk lagi."

ALIFTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang