Prolog

2.4K 323 22
                                    

Aku memijat glabela dengan perasaan campur aduk, sementara Tante Sofi menyengir lebar. Matanya berbinar-binar, tidak seperti kali pertama dan kedua saat beliau datang padaku dengan membawa nama yang sama—cenderung sungkan. Entah apa yang sedang merasuki mertuaku sekarang, sampai beliau begitu semangat membujukku.

"Rayyan udah terang-terangan bilang kalau dia tertarik sama kamu, lho," ujar wanita yang usianya sudah memasuki 70-an. Lain dari kebanyakan orang, di usianya senjanya, Tante Sofi masih terlihat segar bugar, awet muda.

"Aku tahu Mama khawatir sama keadaanku, tapi aku fine-fine aja, kok." Aku mendesah panjang. "Lagian, Rayyan pasti nggak serius. Mama nggak lupa kan, kalau dia itu empat tahun lebih muda dari aku?"

"Mana mungkin Mama lupa." Tante Sofi terkekeh pelan. "Cuma karena empat tahun lebih muda dari kamu, bukan berarti dia nggak bisa serius, Ya. Awalnya, Mama juga mikir Rayyan cuma bercanda. Tapi, melihat effort dia belakangan ini, apalagi pas jagain Keenan kemarin, Mama yakin Rayyan nggak main-main sama perkataannya."

Pernyataan Tante Sofi melempar ingatanku pada kejadian minggu lalu, saat Keenan mengalami anafilaksis. Aku masih di kantor dan keadaan memaksaku untuk tetap tinggal. Ningsih, pengasuh yang baru bekerja menjaga Keenan dua bulan belakangan, terlalu panik—sampai menangis di telepon— menghadapi situasi itu. Dia mengaku lupa kalau Keenan punya alergi, dan tidak tahu pertolongan pertama yang harus dia berikan.

Beruntung, ada Tante Sofi sedang berkunjung ke salah satu cabang restorannya di Kemang. Beliau segera mendatangi rumahku dan membawa Keenan ke rumah sakit. Untuk memastikan keadaan, aku menitip pesan pada Tante Sofi agar Keenan dirawat inap dan melakukan tes alergi lengkap.

Begitu rapat selesai, aku segera menyusul Keenan di rumah sakit. Alih-alih ditemani Tante Sofi, Keenan justru ditemani Rayyan. Hal itu tidak membuatku terkejut, karena bukan kali pertama Rayyan terlihat peduli pada anak-anakku.

"Aku belum siap buat memulai hubungan baru, Ma."

"Mama nggak minta kamu pacaran sama Rayyan kok, Ya. Mama cuma pengin kamu ngasih kesempatan buat dia bisa kenal lebih jauh sama kamu."

"Tujuan kenal lebih jauhnya buat apa? Nggak mungkin sekadar buat jadi teman kan, Ma?"

"Yah, buat temenan doang, Mama rasa, Rayyan bakal senang," timpal Tante Sofi cepat sebelum melempar seringai penuh arti. "Apalagi kalau jadi teman hidupnya."

"Maaa," aku merajuk.

"Coba dulu kan nggak ada salahnya."

"Di luar sana, ada banyak lho, perempuan yang lebih pantas dan buat Rayyan." Aku tertawa miris. "Maksud aku, yang masih muda, masih single, bukan janda dua anak kayak aku."

"Ah, kamu ini. Dulu, kamu juga nggak keberatan sama Dirga—yang statusnya duda satu anak. Anggap aja Rayyan itu di posisi kamu dulu," ujar Tante Sofi. "Kalau Rayyan kerepotan sama status dan anak-anak kamu, mungkin dia nggak akan sampai curhat ke Mama soal kegalauannya. Dia kan tahu persis, gimana status dan keadaan kamu."

"Tahu persis?" Aku mengonfirmasi. "Jangan-jangan, Mama cerita juga ke Rayyan soal—"

"Enggak, lah. Mama nggak berani sejauh itu," timpal Tante Sofi cepat.

Aku menyipitkan mata, mencari gelagat aneh dari ibu mertuaku. Nihil. Tante Sofi tidak menunjukkan tanda-tanda beliau berbohong padaku.

"Katja, jauh sebelum Mama tahu perasaan Rayyan, Mama tahu kalau dia ada hati buat kamu. Sedikitnya, Mama bisa mebaca tanda-tanda cowok lagi jatuh cinta, soalnya Mama kan punya empat anak cowok." Tante Sofi meraih tanganku di atas meja dan menggenggam keduanya. "Memang butuh waktu,Ya, tapi nggak ada salahnya memulai dari sekarang. Dirga pasti senang lihat ada laki-laki yang ngejagain kamu dan anak-anak. Percaya sama Mama."

Aku terdiam, menyadari air mataku tak lagi luruh—tanpa permisi— mendengar Tante Sofi menyebut nama anak bungsunya. Hal itu membuatku tersenyum, bangga pada diriku sendiri.

Senyumku memiliki arti berbeda di mata Tante Sofi. Beliau menatapku dengan kilat berbeda. "Jadi, kamu mau kan, makan malam berdua aja sama Rayyan?"

"E-eh, Ma... aku—"

"Sekali aja, Ya. Habis itu, Mama janji nggak akan maksa-maksa kamu lagi."

Janji manis Tante Sofi terdengar cukup menggiurkan, karena aku sudah terlalu capek dengan serangkaian perjodohan yang beliau upayakan. Aku tahu, beliau melakukannya karena khawatir melihat kesendirianku, tapi sejauh ini, aku merasa baik-baik saja. Aku belum sampai di tahap membutuhkan pendamping hidup—kedua kalinya.

Sedikit cerita, lima tahun lalu, aku menikah dengan Dirga, anak bungsu Tante Sofi, yang kala itu berstatus duda. Dirga mempunyai seorang anak perempuan yang cantik dan menggemaskan, Kahlia namanya. Kehadiran mereka berdua sudah lebih dari cukup untuk melengkapi kebahagiaanku, tetapi Tuhan menghadiahi aku sebuah kejutan. Di anniversary pertama pernikahan, aku dan Dirga dikaruniai seorang anak laki-laki yang kami beri nama Keenan.

Aku merasa hidupku begitu sempura selamna berumah tangga dengan Dirga. Aku sangat mencintai lelaki itu, pun sebaliknya. Rasanya, salah satu fase terbaik dalam hidupku ada di masa-masa ketika Dirga di sisiku.

Semua berubah tepat di tahun ke-lima pernikahan kami, tepatnya setelah aku dan Dirga dinyatakan positif COVID. Kami melakukan isolasi mandiri di rumah, tidak lama, hanya sekitar satu minggu. Di hari ke-delapan, aku dinyatakan negatif COVID, tapi tidak dengan Dirga. Kondisinya memburuk, bahkan dia mengalami gejala berat seperti sesak napas dan karena itu, Dirga harus dilarikan ke rumah sakit dan dirawat secara intensif.

Setiap harinya, pihak rumah sakit mengabari kondisi terkini Dirga. Di hari ke-lima Dirga dirawat inap, salah seorang suster melaporkan bahwa kondisi Dirga tidak kunjung membaik. Aku mencoba menghubungi pihak rumah sakit, memohon agar diizinkan menemani Dirga selama dirawat, tapi untuk alasan kesehatan dan keamanan, mereka menolak dengan tegas.

Badanku lemas sejadi-jadinya saat suster memberi kabar Dirga telah berpulang. Selama beberapa jam, aku kesulitan mencerna informasi itu. Tangisku baru pecah melihat peti mati tiba di rumah duka, dan tubuhku lemas tak berdaya usai kakak iparku mengonfirmasi jenazah dalam peti mati itu memang suamiku.

Sejak hari itu, duniaku tidak lagi sama.


Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Private MessageWhere stories live. Discover now