Chapter 3 - Classic Fear

431 106 10
                                    

A/N:

Biar kenceeeng banget updatenya, boleh dibintangin dulu page-nya! Jangan lupa meninggalkan jejak by comment! 

XOXO,

Rachel

***

"Halo, Katja, gimana kabar kamu? Makin baik, dong?"

Aku menghela napas panjang atas sapaan Dokter Indah. Wanita berambut pendek itu tersenyum menatapku sambil ikut menghela napas seperti yang kulakukan.

"Not good, not bad either, Dok," jawabku pada akhirnya.

Dokter Indah mengetuk jemarinya di meja. "Okay, now tell me, apa perubahan yang kamu notice dalam sebulan setelah saya naikkan dosis obat kamu."

Dalam satu gerakan singkat, aku mengeluarkan buku agenda dari dalam tas bahuku. Aku memberikannya pada Dokter Indah karena sebulan lalu, beliau memintaku membuat jurnal harian. Kupikir, dia bisa melihat sesuatu hanya dari tulisan tanganku.

"Hmmm, coba ceritakan, Katja."

"Overall, saya nggak pernah lagi terbangun di tengah malam, tapi saya nggak tahu itu karena Dokter menaikkan dosis obat tidur saya, atau memang karena ada perubahan positif dari diri saya," jelasku. "Yang jelas, saya masih sering kangen sama almarhum suami saya, Dok, walaupun nggak sampai bikin saya menangis semalaman."

"That's a progress," kata Dokter Indah diiringi menulis catatan. "Kalau sesekali menangis pun, nggak apa-apa, selama nggak mengganggu tidur atau aktivitas kamu yang lain. Gimana sama hubungan kamu dan kedua anak kamu?"

"Sedikit lebih baik, walaupun anak bungsu saya sesekali masih tantrum karena saya tinggal kerja." Aku memberi jeda sejenak pada curhatanku. "Ah, iya. Belakangan ini, muncul perasaan baru yang cukup mengganggu saya, Dok. Nggak jarang, saya merasa bersalah sama Keenan dan Kahlia karena harus ninggalin mereka buat bekerja. Saya juga makin sering pulang malam, sampai nggak sempat mengalokasikan waktu buat bacain cerita sebelum tidur, atau melakukan rutinitas kami dulu, kayak gosok gigi bareng, gitu."

"Menurut saya, ini cuma soal waktu, Katja. Lambat laun, mereka pasti akan terbiasa dengan ritme hidup yang baru. It's normal."

Aku melanjutkan curhatanku tentang bagaimana padatnya hari-hariku di kantor, apalagi setelah Elbani resmi menjabat sebagai partner di tim kerja yang sama denganku. Saking padatnya, hampir setiap hari aku pulang larut malam. Memang sih, aku bukan satu-satunya orang yang lembur, tapi tetap saja, aku tak bisa mengaburkan rasa bersalahku terhadap dua anakku. Untuk mengatasi perasaan itu, aku bercerita pada Dokter Indah, yang kuharap dapat mengurangi perasaan tidak enak yang mengganjal di dadaku.

Omong-omong, aku rutin menemui Dokter Indah, seorang psikiater yang membuka klinik tak jauh dari komplek tempatku tinggal. Sudah delapan bulan berlalu sejak pertama kalinya aku datang mencari bantuan profesional.

Aku pernah berada di fase denial dengan kesehatan mentalku. Bayangkan saja, aku masih merasa hidupku berjalan normal padahal aku tidak tidur dua hari berturut-turut karena menangisi kepergian Dirga. Semakin hari, kondisi mentalku semakin mengkhawatirkan. Pola hidupku kacau dan sakit-sakitan hingga mengabaikan kebutuhan kedua anakku, bahkan membuat mereka bergantung pada Mbak Desi seorang.

Kupikir, memburuknya kondisi fisikku adalah karena penyakit tertentu. Aku melakukan medical check up, tetapi tidak ada temuan yang serius. Dokter spesialis penyakit dalam menyarankan aku untuk pergi menemui psikiater. Waktu itu, aku merasa marah dan kecewa.

Butuh waktu yang tidak sebentar untuk aku akhirnya mau menemui psikiater. Aku baru menyadari bahwa kondisi mentalku hancur karena melihat Keenan terbaring di rumah sakit. Jagoan kecilku mengidap typhus dan harus dirawat cukup lama. Melihat betapa berantakannya duniaku, aku pun berhasil melawan egoku sendiri dan akhirnya menemui Dokter Indah. Benar saja, dari serangkaian observasi yang dilakukan, aku memang punya penyakit mental. Aku didiagnosis mengalami depresi dan gangguan kecemasan, salah satu sebabnya adalah kepergian Dirga.

Private MessageWhere stories live. Discover now