Chapter 5: New Circle

348 96 28
                                    

A/N:

Kalau biasanya ketemu cowok yang mencintai dengan prinsip alon-alon asal kelakon, perkenalkan prinsip cowok-cowok yang: aku akan mencintaimu dengan ugal-ugalan. Happy reading!

***

Tinggal di komplek perumahan yang sepi membuatku hampir tidak punya tetangga. Hampir, karena masih ada dua tetangga yang mengenal keluargaku. Sebatas kenal saja, tidak dekat, karena mereka tidak tinggal berdekatan denganku. Justru, rumahku berada di antara dua rumah kosong, keduanya sama-sama dipasangi banner tanda untuk disewakan.

Seperti rutinitasku, Sabtu pagi selalu kuisi dengan agenda kerja bakti di rumah sendiri. Tentu saja dibantu oleh Mbak Desi, Kahlia, dan Keenan—walaupun Keenan lebih banyak bermain daripada membantu.

"Mama! Ada Tante Ambaaar!" seru Keenan.

Aku menghentikan aktivitasku memupuki tanaman. Saat kutengok, benar saja, ada Mbak Ambar, pemilik rumah kosong di sebelah kanan rumahku. Bisa dibilang, aku cukup akrab dengan Mbak Ambar karena sebulan sekali, dia pasti mampir ke rumahku sekalian menengok dan membereskan unit rumah miliknya.

"Halooo, Katja. Sibuk beberes, nih?"

"Mbak Ambar! Masuk, Mbak," tawarku.

Mbak Ambar mengamini dengan memasuki halaman rumahku. Seperti biasa, ketika berkunjung, Mbak Ambar selalu membawa buah tangan untuk kami.

"Apa ini, Mbak? Repot banget," kataku.

"Bolu ketan hitam. Nggak repot dong, Katja," timpalnya. "Aku ada rencana mau buka usaha bakery kecil-kecilan di rumah. Itung-itung tester nih, siapa tahu kamu ketagihan!"

"Waaah! Selamat! Rumah sebelah mau jadi bakery."

"Bukan, bakery-nya sih tetap di rumah tempat aku tinggal, Katja."

Aku meminta Mbak Desi untuk membawa bingkisan Mbak Ambar ke dapur. Setelahnya, aku mengajak Mbak Ambar mengobrol di kursi rotan di teras rumah.

"Rumah sebelah mau ada yang nyewa, Katja. Aku dengar, dia sewa rumah karena kenal sama mendiang suami kamu," kata wanita berusia awal 40-an itu.

"Eh? Siapa? Temannya Mas Dirga?"

"Bilangnya sih gitu."

"Siapa namanya?"

"Mas Bani."

Aku tercenung sesaat. Nggak salah dengar, nih?

"Elbani?"

"Iya, Elbani. Kamu pasti kenal juga, kan? Dia bilang, sengaja mau nyewa rumahku, katanya karena tahu Mas Dirga tinggal di sini."

Aku hanya bisa mengangguk. Bingung harus merespons bagaimana karena pasalnya, Elbani tidak pernah sekalipun berkunjung ke rumah Mas Dirga. Atau mungkin pernah, tapi itu jauh sebelum Mas Dirga menikah denganku. Aku masih ingat betul, tidak ada rekam wajah Elbani pernah bertamu ke rumah ini.

"Pas urus-urusan administrasi kemarin, Mas Bani juga bilang dia kenal sama kamu juga lho. Sekantor, ya?"

"Iya, Mbak, kebetulan sekantor." Bukan cuma teman kantor sih, Mbak. Elbani itu bosku malah!

"Jadi curiga nih, Mas Bani lagi berusaha buat jadi papa sambungnya Kahlia dan Keenan."

Cepat, aku mengibaskan tangan. "Nggak lah, Mbak."

"Ih, kenapa enggak? Kamu kan idola di kantor, Mas Bani pasti salah satu fans kamu, deh, sampai pengin tinggal sekomplek sama kamu."

"Idola apanya," elakku. "Mana ada saya jadi idola di kantor, Mbak."

Private MessageWhere stories live. Discover now