Chapter 6: Big Kid

504 91 10
                                    

Malam ini, rencananya aku dan anak-anak akan menginap di rumah Tante Sofi. Beliau sudah meminta kami menginap berkali-kali, tapi aku tidak menyanggupi. Karena kelewat sering menolak, aku jadi merasa tidak enak. Aku pun membuat keputusan impulsif untuk menginap malam ini, meskipun besok adalah hari Senin.

Aku sedang menyiapkan isi tas Keenan ketika bunyi klakson mobil berbunyi. Rupanya mobil Rayyan. Dari jendela kamar, aku mendapati sosok lelaki itu sedang berjalan menuju ke rumahku.

"Mbak Desi, tolong bukain pintu. Ada Mas Rayyan," pintaku yang sedang kagok menyiapkan seragam Kahlia—untuk dibawa ke rumah Tante Sofi. Selesai dengan tas milik Kahlia, aku juga masih harus menyiapkan perlengkapan Keenan.

"Hai, Yan," sapaku begitu keluar dari kamar Kahlia dan Keenan. "Maaf bikin kamu nunggu."

"It's fine, Katja. Kalian beneran jadi menginap di rumah Mama Sofi kan malam ini?" Rayyan memastikan. Semalam, ketika kami teleponan, aku cerita padanya tentang niatanku.

"Yah, mau gimana lagi. Udah keseringan aku nolak ide Mama, jadi kali ini, harus maksain," jawabku. "Padahal kamu nggak usah jemput aku. Kita kan pasti ketemu di rumah Mama Sofi."

"Nggak apa-apa."

"Eh, sebentar! Pasti Mama Sofi deh yang minta kamu buat jemput."

"Kebalik, aku yang minta Mama Sofi buat ngebolehin jemput kalian." Rayyan menyengir. "Udah ah, nggak usah dibahas. Kalian udah siap? Kita let's go?"

"Sebentar lagi. Keenan masih mandi, Kahlia juga masih ngerjain PR dulu."

"Kamu udah siap?"

"Belum." Aku menyengir. "Tinggal ganti baju aja, sih. Barusan habis beresin mainan Keenan, dia keukeuh mau bawa mainan seabreg."

Rayyan tertawa kecil. "Ya udah, kamu ganti baju, gih. Aku temenin Kahlia ngerjain PR biar cepat selesai."

Aku melirik Kahlia. Gadis kecilku itu menunduk, kelihatan enggan menerima niat baik Rayyan. Tidak ingin memaksa, aku bertanya pada Kahlia. "Kahlia mau nggak dibantuin sama Om Rayyan?"

Kahlia tidak segera menjawab. Bergantian, dia menatap aku dan Rayyan. "Kalau Om Rayyan mau, boleh."

"Beneran nggak apa-apa, Kahlia?" Rayyan mengonfirmasi. Sepertinya, dia nggak yakin Kahlia beneran mau ditemani.

Anggukan Kahlia menjadi jawaban. Aku tidak tahu bagaimana isi hati Kahlia, tapi sepertinya dengan berat hati, dia membolehkan Rayyan untuk bergabung dengannya di meja makan—tempat Kahlia mengerjakan PR.

Bicara soal Kahlia, dia masih belum bisa sepenuhnya menerima kedekatanku dengan Rayyan. Kahlia mengutarkannya dengan jelas, hampir setiap hari menyuarakan ketidaksukaannya. Bahkan saat aku menerima telepon dari Rayyan—dan mengobrol selama lebih dari setengah jam, Kahlia terang-terangan menunjukkan kecemburuannya.

Aku berusaha memahami Kahlia dengan tidak memaksa dia untuk menyukai Rayyan. Aku percaya, Rayyan bisa diterima oleh Kahlia suatu saat nanti, ini cuma masalah waktu saja.

Selama menjadi ibu sambung Kahlia, aku baru tahu kalau bagi Kahlia, menerima kehadiran orang baru di dalam circle-nya adalah hal yang tidak mudah. Padahal seingatku, dulu—sebelum aku menikah dengan papanya, Kahlia menerimaku dengan tangan terbuka hanya dari perkenalan singkat kami saja.

Kurasa, hati Kahlia tidak jauh berbeda dariku. Dia masih kesulitan menerima kepergian Dirga. Mungkin Kahlia merasa dengan adanya Rayyan, posisi sang papa akan tergantikan begitu saja.

"Ma, kita berangkat sekarang?" tanya Katja yang menyusulku ke kamar.

"Udah selesai PRnya?"

"Udah, Ma. Nanti aku mandi di rumah Oma aja."

Private MessageWhere stories live. Discover now