Chapter 1- Proprierty

1.5K 227 15
                                    

A/N:

Selamat membaca kisah Katja. Oh iya, nama Katja dieja 'Ka-Ti-Ya' yaa, bukan 'Ka-Ca'. Semoga hari-hari yang Katja ceritakan di sini bisa menjadi hiburan yang menyenangkan buat dibaca dan ditunggu.

XOXO,

Rachel_Ea💜

***

"Mama jangan kerja," rengek Keenan yang tidak kunjung berhenti tantrum setelah sepuluh menit kubiarkan menangis. Mbak Desi, nanny yang kupekerjakan untuk menjaga Keenan, sudah berusaha membujuk, tapi tangis bocah berusia tiga tahun itu tidak kunjung mereda.

"Keenan masih mau nangis? Nggak apa-apa. Mama tungguin nangisnya, ya. Nanti kalau Keenan udah lega, baru ngobrol sama Mama. Oke?"

"Nggak! Nggak oke, Mama!"

Kahlia yang duduk di sebelahku mendengus. Saat kutanya kenapa, Kahlia tidak menyahut. Gadis kecil berseragam putih-merah itu kembali menekuni piring berisi sarapannya. Kulihat, ekspresi Kahlia seperti sedang menahan kesal. Aku tidak meminta Kahlia untuk bercerita karena waktuku juga tidak banyak.

Beginilah rutinitasku setelah menjajaki dunia karier. Aku masih perlu belajar untuk mengatur waktu dan pikiran karena aku sendiri merasa kalau waktuku lebih banyak habis mengurusi pekerjaan. Apa boleh buat? Sebagai karyawan baru, aku tidak punya pilihan selain menunjukkan loyalitas dan integritas dalam bekerja, karena untuk itulah aku dibayar perusahaan.

"Kahlia, Mama minta maaf ya nggak bisa jemput kamu nanti sore," kataku usai menyelesaikan sarapanku. "Tapi Mama janji, Mama bakal pulang sebelum maghrib. Oke?"

"Mama kenapa sih nggak jadi manajer di bakery Oma aja?"

Aku mengangkat alis.

"Kalo Mama kerja di sana, Mama nggak perlu ke kantor pagi-pagi, jadi bisa main dulu sama aku, sama Keenan."

"Mama kan udah bilang sama Kahlia, Mama butuh pekerjaan yang bisa Mama nikmati, biar Mama semangat setiap harinya. Kalau di kantor, Mama belajar banyak hal baru dan itu bikin Mama lupa sama kesedihan Mama."

"Emang Mama nggak semangat kalau jadi ibunya aku dan Keenan aja?"

"Kok Kahlia nanyanya gitu?" aku balik bertanya tanpa menyembunyikan kekagetanku. "Mama kerja juga buat Kahlia, buat Keenan."

Tidak ada jawaban lagi. Aku tahu Kahlia sangat kecewa. Belakangan ini, gadis kecil berusia delapan tahun itu memang rajin sekali menyuarakan isi kepalanya. Tentu saja aku kepikiran dengan sederet kekecewaan yang Kahlia tunjukkan padaku, tapi aku juga tidak bisa mengikuti keinginannya. Bukan demi ego, melainkan karena aku tidak bisa terus-terusan menyiksa diriku dengan kepergian Dirga.

Tangis Keenan sedikit mereda meskipun sesekali masih meraung. Waktu menunjukkan pukul 6.45 pagi, artinya aku tidak punya banyak waktu lagi.

"Mbak Desi, Keenan dimandiin di rumah Mama Sofi aja. Sebentar lagi sopir Mama datang, Mbak siap-siap dulu aja sekarang," perintahku. "Kahlia, Mama berangkat dulu, ya. Mama sayang sama Kahlia."

Aku memberi pelukan singkat pada gadis kecil yang masih berkutat dengan sarapannya. Sejurus kemudian, aku mencium pipinya.

"Baik-baik ya di sekolah."

Mungkin, Kahlia atau Keenan berpikir bahwa mudah saja bagiku meninggalkan mereka. Padahal, setiap kali langkahku meninggalkan rumah, aku tidak bisa meluruhkan rasa bersalahku karena memilih jalan hidup seperti ini.

Menyoal ucapan Kahlia tadi pagi mengenai bekerja di bakery Tante Sofi, aku sudah pernah mencobanya. Tidak banyak yang bisa kunikmati karena tempat itu menyimpan banyak sekali kenangan indah bersama Dirga. Alih-alih bekerja, aku lebih sering menghabiskan waktu di bilik toilet setiap kali teringat momen manis bersama Dirga di sana.

Private MessageWhere stories live. Discover now