7. Jealous

2.4K 195 9
                                    

7. Jealous

“Namun, seperti itulah bentuk kebahagiaan. Terkadang terlihat tidak berarti apapun bagi banyak orang, akan tetapi akan sangat bermakna untuk sebagian orang lainnya.”

***

“Mentari.”

Mata Mentari membulat sempurna begitu dirinya berbalik badan sepenuhnya menghadap cowok bertubuh jangkung yang sudah berdiri di depannya dengan satu alis terangkat. Detik itu juga Mentari menghela napas lega. Tanpa aba-aba jemari lentiknya memberikan cubitan kecil di pinggang cowok itu. Disertai decakan kesal dari bibirnya hingga membuat cowok di hadapannya mengaduh kesakitan.

“Sakit, Sayang... ” adunya pelan. Ia meraup jemari Mentari dan membawanya ke dalam genggaman.

Iya, cowok itu adalah Semesta. Mentari kaget karena tiba-tiba saja pacarnya itu sudah ada di sana. Pasalnya tadi di gazebo yang letaknya tidak jauh dari panggung tempat acara kampus diselenggarakan, hanya ada dirinya dan teman cowoknya yang kini sudah pergi entah kemana. Tadi Mentari sempat mengobrol sebentar dengan temannya itu, sebelum akhirnya ia ingin kembali mencari Semesta yang kemungkinan besar pasti ada di backstage.

Mentari mendengus kasar sambil menatap sebal ke arah Semesta. “Hobi banget ngagetin!”

Helaan napas pelan terdengar dari Semesta. Cowok dengan rambut kecoklatan yang berantakan dan dahinya sedikit berkeringat itu melepas tangan Mentari. Ia beralih memegang kedua pundak Mentari dengan tatapan lekat-lekat.

“Kamu ngapain di sini, hm?” tanya Semesta tampak khawatir. “Aku nyariin kamu kemana-mana. Sampai ke parkiran juga. Aku kira kamu udah nunggu aku di mobil, tapi ternyata nggak ada juga.”

Benar, tadi Semesta memang sudah mencari Mentari kemana-mana. Sayangnya Semesta tidak menemukan keberadaan cewek itu di tempat-tempat yang tadi ia datangi. Semesta sempat frustrasi apalagi mengingat ucapan Biru saat di backstage tadi. Sialan! Hingga akhirnya Semesta memutuskan ke area parkiran untuk mencari keberadaan Mentari yang mungkin saja ada di sana sekaligus untuk meletakkan gitar kesayangannya ke dalam mobil.

“Aku khawatir sama kamu, Mentari. Kamu nggak bisa aku hubungi dari tadi,” tambah Semesta. Tangannya beralih untuk membelai lembut kepala Mentari. Meskipun ketakutan-ketakutan yang sejak tadi bersarang di kepalanya tidak kunjung reda, demi apapun Semesta lebih khawatir jika Mentari kenapa-kenapa dibanding memikirkan jika Mentari mengkhianati dirinya. Syukurnya kini Mentari tampak baik-baik saja.

Mentari memutar bola matanya jengah. Pacarnya ini pikun atau hilang ingatan, sih? Jelas-jelas tadi dirinya sudah pamit. Lebay memang!

“Kan tadi aku udah bilang aku mau ngobrol dulu sama temen aku. Hp aku mati. Baterainya habis,” jelas Mentari sebelum menyingkirkan tangan Semesta dari kepalanya dan menarik tangan cowok itu menuju ke parkiran. Mata Mentari mengantuk. Ia ingin mengakhiri perdebatan tidak penting ini untuk segera pulang dan istirahat di rumah.

Semesta hanya bisa menurut. Ia membiarkan tangan kirinya di genggam oleh Mentari hingga mereka sampai di parkiran.

“Kamu tadi ngobrol berdua doang?” Pertanyaan itu terlontar dari Semesta selesai ia membukakan pintu mobil untuk Mentari dan menyusulnya masuk ke dalam.

Bersidekap dada, cewek yang baru saja menghapus liptint-nya sambil berkaca di kaca kecil yang ia ambil dari dalam tasnya itu menoleh pada Semesta dengan tatapan lelah. Oh ayolah! Dirinya ini sedang tidak ingin berdebat. Sepertinya sikap posesif Semesta memang benar-benar kambuh lagi.

“Terus kamu maunya aku ngobrol ber berapa Semesta? Jelas-jelas aku bilang temen aku. Bukan temen-temen aku. Artinya satu orang doang, kan?”

“Jadi, ya udah pasti berdua doang. Bukan bertiga apalagi satu RT!” decak Mentari dengan nada sedikit—ralat, sangat ngegas.

PELUK UNTUK SEMESTA (PRE ORDER)Where stories live. Discover now