26. Memaafkan Segala Hal

4.6K 428 421
                                    

26. Memaafkan Segala Hal

"Setelah kamu pergi, segalanya di hidupku nggak pernah baik-baik aja, Semesta."

***

"Karena hari ini Ayah naik jabatan dan difasilitasi mobil dari kantor, jadi Ayah bakal traktir makanan apa pun yang kamu mau."

Di samping Bagas, Mentari bersorak senang. Hal itu tentu saja mengundang tawa bahagia Bagas yang menggelegar di dalam mobil. Anak perempuan satu-satunya ini memang sudah menginjak usia dewasa. Sekarang sudah menjadi seorang mahasiswa. Bahkan beberapa minggu lalu, Mentari juga sudah berani membawa dan mengenalkan cowok ke rumah. Namun, di mata Bagas, Mentari tetaplah putri kecilnya. Yang akan bahagia hanya karena ia belikan makanan-makanan kesukaannya.

"Kamu mau apa sayang?" tanya Bagas dengan fokus pada jalanan malam di depan yang sudah lumayan sepi.

Mentari mengamati jam tangan yang melingkar di pergelangan kirinya. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas lebih lima belas menit. Itu artinya sebentar lagi restoran sushi yang menjadi tempat makan sushi favoritnya sejak SMA akan segera tutup.

"Mentari pengin sushi di tempat biasa ituloh, Yah. Tapi kayaknya bentar lagi tutup deh. Soalnya cuma buka sampai jam setengah dua belas malem. Masih keburu nggak, ya?"

Menghela napas, Bagas merasa bersalah. "Kalau aja tadi Ayah nggak lembur, Ayah pasti bisa ajak kamu jalan-jalan dari sore. Tapi tenang aja sayang. Ayah bakal—"

Dengan tiba-tiba Bagas mengencangkan laju mobilnya. "Pegangan ya, Ayah bakal ngebut. Demi sushi untuk tuan putri!"

Mentari berpegang erat pada sabuk pengamannya dengan jantung seperti ingin copot. Pasalnya ayahnya benar-benar ngebut meski tidak ugal-ugalan. Namun, sesaat kemudian tak urung tawa Mentari meledak juga. "Ayah, harusnya malem ini Mama ikut biar telinga Ayah dijewer sama Mama."

"Iya, sayangnya Mama kamu lagi demam," sahut Bagas dengan mata fokus menyetir. Ia terkekeh pelan. "Kalau ada Mama kamu di sini, habis kita diomelin."

"Hahaha... "

"Ayah sekarang pelan-pelan, bentar lagi nyampe. Nanti kalau kelewat kita puter baliknya jauh karena di sini jalannya searah," peringat Mentari. Mengingat ayahnya adalah tipe orang yang sulit menghafal jalan. Jadi, Bagas tidak akan sadar mereka akan segera tiba di restoran sushi jika Mentari tidak mengingatkan.

"Nah itu—yaaa... kelewatan, Yah! Itu tadi di belakang restoran sushi-nya."

"Ayah?" Mentari melongo saat Bagas membelokkan mobil mereka ke arah berlawanan dengan begitu gesit. Iya, mobil mereka sekarang melaju dengan melawan arah.

"Ayah! Kok?!"

Berbeda dengan Mentari yang panik, di kursi kemudi Bagas justru terlihat tenang dan biasa-biasa aja. "Udah nggak apa-apa, sayang. Jalannya lagi sepi juga. Jadi aman."

"Ayah! Awas!"

Citttt...

BRAK!!

Mobil mereka berhasil selamat. Namun, nahasnya mobil yang tadi melaju di hadapan mereka, mobil yang berusaha menghindari tabrakan dengan mereka, kini terpental dan menabrak bahu jalan hingga mobil itu terbalik sempurna.

"Ayah... " Mentari menangis. Melalui kaca mobilnya ia mengintip mobil itu. Ia membaca nomor plat mobilnya. Mentari merasa sepertinya tidak asing dengan mobil itu.

"Ayah, itu mobil orang tua Semesta yang kemarin sempet dipakai Semesta ke kampus!" adu Mentari menggebu-gebu. "Ayo kita tolongin, Ya!"

Namun, hal yang dilakukan oleh Bagas setelahnya membuat Mentari benar-benar tidak habis pikir. Bukannya turun dan segera mencari bantuan untuk orang di dalam mobil itu. Yang Bagas lakukan adalah kabur. Iya, Bagas melajukkan mobil meninggalkan tempat kecelakaan dengan kecepatan di atas rata-rata.

PELUK UNTUK SEMESTA (PRE ORDER)Where stories live. Discover now