19. Perasaan Bersalah

1.6K 167 51
                                    

19. Perasaan Bersalah

"Harusnya kamu nggak jatuh cinta sama manusia yang banyak lukanya kayak aku."

***

"Ayah dapet uang dari mana?"

Dahi Mentari mengernyit bingung. Pagi-pagi sekali saat keluar kamar hendak berangkat ke kampus, ia mendapati Ayah dan Ibunya duduk di ruang tengah sembari memegang segebok uang. Mentari yakin nominal uang yang tengah dipegang oleh ayahnya itu lebih dari seratus juta. Mungkin mencapai tiga ratus juta?

Bagas dan Kinan menoleh bersamaan. Mereka kaget dan tersenyum sedikit canggung ke arah Mentari yang kini berdiri di hadapan mereka.

Bagas berdiri menghampiri Mentari. Menunjukkan uang yang kembali ia masukkan ke dalam amplop coklat. "Mentari, Ayah udah dapet uang buat lunasin hutang ke rentenir. Jadi, sekarang kamu nggak perlu kerja keras dan pikirin soal hutang Ayah. Biar nanti Ayah sendiri yang kerja keras buat balikin uang ini ke Semesta."

Mentari semakin tidak paham begitu ayahnya menyebutkan nama Semesta. Semesta? Apa hubungannya uang itu dengan pacarnya?

"Maksud Ayah?"

"Ini uang dari Semesta. Tadi malam dia datang ke sini sama temannya. Ngasih uang ini ke Ayah. Dia belum bilang ke kamu?"

Tentu saja Mentari langsung shock. Ia melemparkan tatapannya ke arah Kinan. Seolah meminta penjelasan pada wanita yang masih duduk di sofa itu tentang apa yang diucapkan Bagas barusan. Apakah itu benar adanya atau tidak?

Mengerti situasi, Kinan lekas berdiri menghampiri suami dan anaknya. Wanita itu menganggukkan kepala pada Mentari yang masih berusaha mencari jawaban atas kebingungannya. "Iya, sayang, itu uang dari Semesta. Kemarin, katanya Semesta nggak sengaja dengar obrolan kita di ruang tamu waktu dia nganter kamu pulang. Makanya tadi malem dia langsung dateng ke rumah buat nganter uang ini."

Kinan menjeda ucapannya dengan helaan napas pelan sebelum kembali melanjutkan. "Sebenarnya Semesta bilang kalau uang ini nggak perlu diganti, tapi Mama sama Ayah udah sepakat tetap akan mengganti uang ini ke Semesta. Meski dengan cara menyicil sebisa kita."

Mentari tidak tahu lagi harus memberi respon seperti apa. Ia benar-benar tidak menyangka. Ia mendudukkan diri di sofa sambil memegangi kepalanya. Ini... ini terlalu sulit untuk ia terima.

Tidak! Semesta tidak boleh membantu keluarganya. Ia tidak akan membiarkan hal itu terjadi.

Mentari kembali berdiri. Dengan cepat ia merebut paksa amplop coklat itu dari tangan Bagas. "Aku harus balikin uang ini ke Semesta. Dia nggak boleh bantu keluarga kita."

"Mentari... " Kinan memegang lengan Mentari. Mencoba menenangkan dan membujuk putrinya. "Tapi ini satu-satunya jalan supaya Ayah kamu bebas dari kejaran rentenir itu, Nak."

"Mentari, Ayah janji akan balikin uang ini ke Semesta suatu saat nanti. Ayah janji kali ini Ayah akan bertanggung jawab," timpal Bagas dengan tatapan menyakinkan.

Kinan menambahkan. "Kamu nggak mau lihat Ayah kamu dipukulin sampai babak belur kayak waktu itu, kan? Bahkan kalau kali ini kita nggak bisa bayar tepat waktu, mungkin mereka akan berbuat hal yang lebih parah lagi, Nak. Mereka akan... membunuh Ayah kamu."

Air mata Mentari menetes. Ia bergerak mundur, lalu kembali menjatuhkan dirinya di sofa. Mata merah penuh air mata itu menatap bergantian kedua orang tuanya yang masih berdiri di hadapannya dengan tatapan serba salah.

"Sampai kapan kita harus menyusahkan Semesta? Apa nggak cukup sama apa yang terjadi satu tahun lalu?" Mentari menangis semakin kencang. Perasaan bersalah, bingung, takut, marah, sedih, kecewa, semua campur aduk menjadi satu. Membuat dadanya berdenyut ngilu. "Selama ini aku udah berusaha membuat Semesta benci ke aku, biar dia ninggalin aku, biar aku nggak semakin merasa bersalah. Karena tiap lihat dia, aku selalu merasa jadi manusia paling jahat dan egois di dunia ini. Sayangnya usaha aku selalu gagal karena kalian justru membuat Semesta semakin ingin bertahan."

PELUK UNTUK SEMESTA (PRE ORDER)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang