15. Kebohongan Mereka

1.5K 134 1
                                    

15. Kebohongan Mereka

"Sekuat apa pun kamu, kamu boleh jadi lemah di beberapa keadaan. Jangan takut buat nangis."

***

"Mama!"

Dengan tergopoh-gopoh, Mentari menghampiri Mamanya yang terduduk lemas di sofa ruang tamu. Wanita 45 tahun itu terlihat sedang menangis tersedu-sedu.

"Mama kenapa?" tanya Mentari panik. Ia membantu membenarkan posisi duduk Mamanya agar lebih nyaman.

"Mama sakit?" tanya Mentari lagi. Ia paling tidak bisa melihat Mamanya menangis. Apalagi tangisannya sampai sesenggukan seperti ini. Itu sangat... menyakitkan.

Perlahan Kinan mengangkat kepala. Menatap Mentari dengan linangan air mata di pipi yang mengalir semakin deras. Bibir pucat yang bergetar, menahan agar tangisannya tidak menimbulkan suara itu, mencoba terbuka sedikit demi sedikit. Kinan berusaha mengucapkan sesuatu.

"Ayah kamu... "

Kinan kembali menangis karena tak kuasa melanjutkan ucapannya. Hatinya tiba-tiba terasa sesak bagai dihantam ribuan batu. Ia tidak tega mengatakannya kepada Mentari.

"Ayah kenapa, Ma?"

Mentari menyahut cepat. Pikirannya sudah berkelana kemana-mana. Tidak karuan. Dengan jantung berdebar-debar kian kencang. Takut sesuatu yang buruk terjadi pada Ayahnya. Atau, memang... sudah terjadi?

"Ma? Ayah kenapa?" Mentari mengguncang pelan kedua pundak Kinan. Sayangnya wanita itu tetap larut dalam tangisannya. Tidak kunjung memberinya jawaban yang jelas.

Tatapan Mata Mentari lantas mengedar ke segala penjuru ruangan. Ia mencari keberadaan Bagas. Nihil. Sepertinya tidak ada Ayahnya di dalam rumah.

Kinan menahan lengan Mentari saat cewek itu hendak berdiri untuk mencari keberadaan sang Ayah yang mungkin saja berada di ruangan lain. "Ayah kamu dibawa sama—"

"Mama... Mentari... "

Suara pelan yang berasal dari pintu itu berhasil membuat ucapan Kinan terhenti. Mentari dan Kinan sontak menoleh bersamaan ke sumber suara.

"Ayah!"

Dengan cepat Mentari beranjak dari duduk. Menghampiri Ayahnya yang tiba-tiba berdiri di ambang pintu yang sejak tadi terbuka lebar. Di sana Bagas berdiri dengan beberapa luka di wajah. Pria itu terlihat seperti habis... dikeroyok?

"Ayah kenapa? Siapa yang mukulin Ayah?" Mentari mencoba meneliti luka-luka di wajah Ayahnya. Kemudian memastikan tidak ada luka lain selain di wajah yang semakin hari terlihat semakin menua itu. Namun, hati Mentari langsung mencelos kala menyadari ada beberapa luka goresan pisau juga di lengan Ayahnya.

"Ayah... " Mentari menatap Ayahnya tidak mengerti. Banyak pertanyaan 'kenapa' yang kini hinggap di kepalanya.

Dengan tenang dan berusaha menahan rasa sakit di sekujur tubuh, Bagas menggiring Mentari agar duduk di sofa terlebih dahulu. Pria itu ikut menyusul setelah menutup dan mengunci pintu rapat-rapat.

Bagas duduk di sebelah Kinan. Menenangkan tangis istrinya yang kini justru semakin kencang saat melihat keadaannya.

"Ayah nggak apa-apa, Ma. Udah jangan nangis. Nanti Mentari makin bingung," tenang Bagas merangkul pundak Kinan erat-erat. Mencoba menyakinkan istrinya kalau dirinya baik-baik saja. Begitu juga dengan mereka. Mereka akan baik-baik saja. Bagas bisa menangkap sinyal ketakutan itu dari sorot mata Kinan saat menatapnya tadi.

Tatapan Bagas kini jatuh pada Mentari. Anak perempuan semata wayangnya itu terlihat sedang menunggu penjelasan dengan berbagai macam pertanyaan yang mungkin kini sudah menumpuk memenuhi isi kepalanya.

PELUK UNTUK SEMESTA (PRE ORDER)Where stories live. Discover now