28. Kehilangan

5.2K 324 37
                                    

28. Kehilangan

"Gue nggak punya banyak orang di hidup gue. Makanya gue beneran takut kehilangan orang-orang yang gue sayang."

***

"Kakek udah nggak ada."

Debaran jantung yang bergemuruh di dada Semesta seolah ingin mengisi tiap sudut kantin rumah sakit yang mendadak terasa sunyi saat kalimat itu terucap dari bibir Jemisha. Tubuh Semesta mematung di depan makanan yang baru saja ia pesan. Selera makannya hilang entah kemana. Lidahnya terasa keluh sampai tidak sanggup berkata-kata untuk merespon Jemisha.

Semesta memejamkan mata sejenak. Berusaha menenangkan debaran jantungnya yang semakin menggila. Tubuhnya terasa lemas seketika. Namun, tak urung ia tetap berusaha berdiri. Langkah kakinya membawanya menyusuri dinding-dinding putih rumah sakit yang terasa sunyi. Lorong rumah sakit yang biasa ia lewati, kini terasa begitu panjang seperti lorong tak berujung. Semakin cepat Semesta mengayunkan langkah kakinya, maka semakin cepat pula jantungnya berdebar.

Saat tiba di depan sebuah ruangan bertuliskan Intensive Coronary Care Unit, Semesta berhenti. Langkah kakinya terasa memberat. Dengan keringat dingin yang mengucur di sekitar dahi dan pelipis, Semesta memaksakan diri memasuki ruangan dingin itu. Hingga kakinya menapak tepat di ujung ranjang.

Semesta menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. Tangan gemetarnya perlahan-lahan berusaha membuka kain putih memanjang yang menutup ujung kaki hingga ujung kepala tubuh seseorang yang terbujur kaku di hadapannya.

Air mata Semesta yang menggenang di sudut mata, seketika jatuh. Pertahanannya untuk terlihat kuat dan baik-baik saja, runtuh begitu saja setelah melihat wajah pucat sang kakek dengan kedua mata terpejam sempurna.

Hari itu Semesta kembali merasakan kehilangan. Meski selama ini hubungannya dengan Batara tidak bisa dibilang harmonis, namun tetap saja Semesta merasakan duka yang cukup mendalam. Bagaimanapun selama ini Semesta hanya hidup berdua dengan sang kakek. Tentu, setelah kakeknya pergi ia akan merasakan kehilangan.

Kalimat-kalimat yang pernah Batara ucapkan kemarin, kini seakan kembali berputar di dalam kepala semesta. Sementara itu, jemisha yang menyeretnya dari kantin rumah sakit hingga ke ruangan sang kakek, hanya berdiri di ujung ranjang dengan mata berkaca-kaca. Jemisha lebih ingin menangisi nasib Semesta dibanding menangisi kepergian sang kakek.

"Kakek ingin melihat kamu jadi Dokter, Semesta."

"Kakek ingin masa depan kamu terjamin sebelum Kakek pergi."

"Kakek ingin punya cucu seorang Dokter."

"Kakek ingin melihat kamu sukses meskipun kamu akan hidup sendirian di dunia ini."

"Kakek ingin melihat kamu... bahagia."

Air mata Semesta jatuh semakin tak tertahan seiring dengan kepalan kedua tangannya yang menguat di sisi badan. "Maaf, Kek. Maafin Semesta. Maaf."

***

Seusai pemakaman sang kakek, Semesta diantar pulang oleh Atlas dan Jemisha. Setelah ini Semesta akan tinggal sendirian. Jadi, mungkin mereka berdua akan lebih sering datang untuk menemani Semesta. Agar Semesta tidak terlalu merasa kesepian meski sendirian di rumah.

"Ta, ini surat dari Kakek. Kata Mama Kakek nitip surat ini dari tiga bulan lalu."

Di sofa paling ujung Semesta mengangkat pandangannya. Sekilas tatapannya jatuh pada Atlas, lalu berganti menatap sebuah amplop berwarna putih yang Atlas letakkan di atas meja.

"Kalau lo mau baca pas lagi sendiri, simpen dulu aja, Ta," sahut Jemisha memberi saran. Jemisha mendudukkan diri di sebelah Atlas setelah mengambil satu gelas minuman dari dapur.

PELUK UNTUK SEMESTA (PRE ORDER)Where stories live. Discover now