13. Memaafkan Manusia Lain

1.4K 146 3
                                    

13. Memaafkan Manusia Lain

"Nggak semua orang pengin lihat kamu gagal. Tapi beberapa orang pasti nggak suka lihat kamu lebih dari mereka."

***

"Kamu beneran nggak apa-apa?"

Pertanyaan itu sudah lima kali Semesta tanyakan pada Mentari. Entah harus dengan kalimat seperti apalagi Mentari menjawabnya agar Semesta percaya kalau dirinya benar-benar baik-baik saja. Tidak seperti yang Semesta khawatirkan sejak tadi.

"Aku nggak apa-apa, Semesta. Kamu jangan nyebelin deh."

Semesta yang duduk di tepi tempat tidur hanya bisa mendengus pelan mendengar jawaban ketus Mentari. Bukannya ia ingin membuat Mentari jengkel dengan segala macam pertanyaan yang ia lontrakan berulang-ulang, hanya saja Semesta takut kalau Mentari sedang menutupi sesuatu darinya. Semesta hanya tidak mau Mentari merasa sendirian.

Pasalnya sejak masuk ke dalam kamar, ekspresi wajah Mentari tampak tidak baik-baik aja. Mukanya terlihat kusut entah sedang menahan rasa kesal, marah, emosi, sakit atau yang lainnya. Semesta tidak bisa menebak. Ditambah tadi Semesta juga melihat dengan mata kepalanya sendiri kalau Mentari hampir jatuh dari tangga kalau saja tidak ada Atlas yang menangkap. Hal itu membuat Semesta semakin berpikir kemana-mana. Kalau berjalan saja sampai jatuh, artinya tadi Mentari sedang melamunkan sesuatu hingga membuatnya tidak fokus saat berjalan.

"Tadi kamu ngelamun ya sampai mau jatuh dari tangga kayak gitu?" Semesta menarik kursi yang Mentari duduki lebih dekat ke hadapannya.

"Hm?"

"Tadi kamu ngelamun ya sampai mau jatuh dari tangga kayak gitu?" ulang Semesta setelah lamunan Mentari buyar.

Mentari menghela napas. Ia menjawab dengan sedikit sisa rasa kesal, mengingat tadi Atlas memang sangat menyebalkan—ralat, setiap hari Atlas memang selalu menyebalkan. "Tadi aku lagi berantem sama Atlas, terus aku pukulin punggung dia. Pas aku mau jalan dahuluin dia, aku malah kepleset."

Untungnya kini Atlas tidak ada di sini. Atlas sedang memasak nasi goreng di dapur bersama Jemisha. Hanya tersisa dirinya dan Semesta di dalam kamar Semesta.

Semesta merapikan rambut panjang Mentari yang sedikit berantakan. Bibirnya yang masih terlihat pucat, tersenyum tipis. Ia mencubit hidung Mentari gemas. "Jangan sering-sering berantem sama Atlas makanya."

"Sepupu kamu nyebelin!" adu Mentari. Kalau biasanya ada Semesta yang selalu siap membelanya saat Atlas membuatnya kesal, tadi Mentari hanya bisa bersabar karena tidak ada Semesta.

Tawa renyah Semesta terdengar. Cowok dengan kaus dan celana pendek rumahan itu mengangkat kedua alisnya, menatap Mentari penuh rasa ingin tahu. "Emang tadi Atlas ngapain sampai kamu kesel, hm?"

Tangan Mentari terlipat di depan dada. Bibirnya mengerucut sebal dengan tatapan mata tak tentu. Menatap kemana saja asal tidak menatap mata Semesta yang kini tidak sedikit pun teralihkan darinya. "Tadi lagi bahas Kakek, tapi pertanyaan Atlas tuh bikin aku emosi."

Tanpa sadar ekspresi yang Mentari tampakkan sekarang membuat Semesta merasa gemas. Ingin sekali ia mencubit pipi cewek yang duduk berhadapan dengannya. Dua hari tidak bertemu, membuat Semesta jadi merasa sangat rindu. Ah, kalau seperti ini, rasanya Semesta ingin cepat-cepat bisa masuk kuliah agar bisa bertemu Mentari setiap hari. Selama tiga hari sakit, kegiatannya di dalam kamar hanya berbaring dan bermain gitar di atas tempat tidur. Ia sampai bosan. Bingung harus berbaring dengan gaya apalagi.

Satu alis Semesta terangkat. Ia lumayan terkejut saat menyadari ucapan Mentari barusan. Pertanyaan, apakah tadi Mentari sempat bertemu dengan sang Kakek? Kini memenuhi kepalanya. Pasalnya tadi Semesta kira Kakeknya pergi terlebih dahulu sebelum mereka bertiga, Mentari, Jemisha, dan Atlas datang. Namun, ternyata mereka sempat bertemu.

PELUK UNTUK SEMESTA (PRE ORDER)Where stories live. Discover now