24. Rumit

2.9K 271 180
                                    

24. Rumit

"Demi Tuhan, aku udah berusaha buat jadi lebih baik, Mentari. Maaf kalau ternyata itu belum cukup."

***

Mentari mengaduk-aduk makanan di hadapannya tanpa minat. Semenjak ayahnya kecelakaan dua hari lalu, dan kini masih dirawat di rumah sakit, rasanya beban di pundaknya terasa semakin berat. Mentari tidak tahu, kenapa masalah di hidupnya seolah terus berdatangan. Bertubi-tubi tanpa henti.

Satu tahun terakhir ini keuangan keluarganya bener-benar hancur. Mulai dari ayahnya yang tertipu investasi bodong hingga terjerat banyak hutang di rentenir. Rumah dijual untuk menutupi hutang dan berakhir mengontrak di rumah sederhana seperti sekarang. Ayahnya dipecat dari kantor dan beralih profesi menjadi tukang ojek online. Sampai akhirnya berujung di rumah sakit karena mengalami kecelakaan saat bekerja. Tidak sampai di situ mamanya juga sampai harus berjualan kue untuk mencari uang tambahan. Karena mengandalkan uang dari pekerjaan ayahnya dan pekerjaan Mentari saja, mereka masih kewalahan.

Belum lagi masalah hubungannya dengan Semesta yang semakin hari semakin rumit. Yang semakin tidak memungkinkan untuk terus dilanjut—apalagi setelah kakek Semesta datang ke rumah sakit kemarin sore. Masalah kuliahnya. Masalah dengan Jena. Masalah pekerjaan. Dan, masih banyak lagi hal-hal rumit yang kini memenuhi kepala Mentari. Rasanya kepala Mentari ingin pecah jika memikirkan semuanya.

Pergerakan tangan Mentari terhenti. Ia jadi teringat sesuatu. Senyum masam di bibirnya perlahan terbit. Apa ini semua adalah karma untuk keluarganya?

"Dimakan, Mentari. Kamu dari tadi cuma ngaduk-ngaduk makanan doang. Belum makan sama sekali."

Suara Semesta mengagetkan Mentari. Seketika lamunan Mentari langsung buyar. Kini, Mentari seakan kembali ke dunia nyata. Setelah pikirannya sempat berkelana kemana-mana. Ya, sejak tadi mereka ada di foodcourt Harnus. Semesta mengajak Mentari makan siang setelah mengikuti kelas pagi. Rencananya, setelah ini Semesta juga akan mengantarkan Mentari ke rumah sakit untuk menjenguk Bagas.

Mentari menatap Semesta di sampingnya tanpa ekspresi. Ia menggeleng lemah. "Aku nggak laper," katanya tak berselera. Ia meletakkan sendok dan mendorong jauh piring berisi nasi goreng dari hadapannya.

Tanpa banyak kata, Semesta langsung mengambil alih makanan Mentari. Bergerak cepat menyuapi cewek itu. Semesta membuka mulut. Mencontohkan gerakan yang harus diikuti oleh Mentari. "Ayo buka mulut kamu. Aaa... "

"Aku nggak—"

"Ssttt... aku nggak mau debat." Semesta tersenyum manis. Sialnya senyum itu berhasil membuat Mentari terpanah untuk beberapa detik. "Setelah ini kita langsung jenguk ayah kamu ke rumah sakit. Jadi, jangan banyak protes. Oke?"

Menghela napas, dengan pasrah akhirnya Mentari menerima suapan demi suapan dari Semesta. Sesekali matanya mengedar ke segala penjuru foodcourt. Mengamati beberapa orang yang sejak tadi memerhatikan gerak-gerik mereka—lebih tepatnya memerhatikan gerak-gerik Semesta yang selalu bersikap manis pada Mentari sekalipun pada rumor yang beredar di kampus, Mentari adalah cewek yang memperlakukan Semesta tidak baik. Mentari bodoamat. Ia tidak peduli apa pun penilaian orang-orang. Dan, sepertinya Semesta juga begitu. Terlihat sejak tadi Semesta hanya fokus menyuapi dirinya.

"Sayang, aku mau nanya boleh nggak?" tanya Semesta di sela-sela suapannya.

"Apa?"

Satu alis Mentari terangkat. Perasaannya mulai tidak enak. Jangan bilang pertanyaan Semesta kali ini ada hubungannya dengan kakeknya.

"Waktu aku ngurung diri di kamar, aku langsung keluar kamar karena Jemisha bilang kamu lagi diajak ngobrol berdua sama Kakek. Dan, kemarin waktu aku pulang dari rumah sakit, aku nggak sengaja lihat mobil kakek masuk parkiran. Aku lihat dia jalan ke arah ruangan ayah kamu. Aku mau ngikutin, tapi aku buru-buru karena jadwal latihan sama anak Aspire udah mepet banget. Sebenernya... ada apa antara kalian?"

PELUK UNTUK SEMESTA (PRE ORDER)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang