14. Penolakan

1.5K 148 2
                                    

14. Penolakan

"Terkadang rasa kecewa yang besar, datangnya dari ekspektasi diri sendiri yang terlalu berlebihan."

***

Hari itu Semesta nekat mengantarkan Mentari ke kampus. Menemui Pak Adi untuk membicarakan mengenai nilai Mentari dan juga Jena yang tidak adil. Meski keadaan Semesta waktu itu belum benar-benar membaik, Semesta tetap kekeuh tidak ingin membiarkan Mentari ke kampus menemui dosen sendirian. Seperti yang semua orang tahu, demi Mentari, apa pun bisa Semesta usahakan. Apa pun. Tidak peduli bagaimana keadaannya.

Saat di ruang dosen, Semesta tak hanya sekedar mengantar saja. Namun, ketika melihat Mentari kesusahan memberi penjelasan, Semesta lantas ikut membantu Mentari. Menjelaskan pada Pak Adi bagaimana fakta yang sebenarnya. Mereka memperlihatkan beberapa bukti percakapan antara Mentari dan Jena sewaktu membahas tugas di dalam chat. Dari chat itu terlihat jelas kalau hampir semua ide dalam pembuatan jurnal, berasal dari Mentari.

Karena penjelasan dan bukti yang Mentari dan Semesta perlihatkan cukup kuat, Pak Adi percaya kalau memang Mentari lah yang banyak andil dalam mengerjakan tugas kelompok. Bukan Jena, seperti yang cewek itu katakan pada Pak Adi sebelumnya. Nilai Mentari diubah menjadi A. Sementara Jena, cewek itu tak hanya dipanggil ke ruang dosen untuk mendapat teguran, tetapi nilainya juga langsung diubah menjadi C.

Entah bagaimana reaksi Jena setelah hari itu pada Mentari. Mentari tidak mau memusingkan hal tersebut. Mentari juga tidak peduli karena yang terpenting, ia hanya berusaha mendapatkan haknya. Bukan mengambil hak orang lain seperti yang Jena lakukan padanya. Lagi pula Mentari memang tidak pernah berteman dekat dengan Jena. Teman dekat Mentari saat di kelas selain Semesta, hanya Jemisha—ralat, sebenarnya Atlas juga, tetapi Mentari sedikit ogah untuk mengakui cowok menyebalkan itu menjadi salah satu teman dekatnya—jadi, bagaimana pun reaksi Jena nantinya, itu tidak terlalu berpengaruh besar dalam hari-hari Mentari selanjutnya. Ditambah Mentari juga tipe orang yang cuek dengan beberapa hal yang menurutnya tidak penting. Mentari bukan orang yang suka overthinking seperti Semesta.

"Makasih udah dibantu."

Mentari tersenyum. Matanya memerhatikan Semesta yang berjalan di sebelahnya dengan tatapan senang. Langkah mereka terus terayun seiring dengan senyum Mentari yang tidak kunjung memudar.

Semesta membalas Mentari dengan senyuman tipis yang hampir tak terlihat. Tangan besarnya mengacak puncak kepala Mentari. Ia merasa lega sekaligus bahagia melihat Mentari bisa kembali tersenyum.

"Sama-sama, Mentari."

Semesta kembali mengingatkan sesuatu pada Mentari. "Setelah ini, mau Jena minta maaf ke kamu atau enggak, kamu harus tetap maafin dia, ya. Aku nggak mau kamu nyimpan dendam ke siapa pun. Dalam bentuk apa pun. Karena hal itu cuma membuat kamu susah bahagia."

"Satu lagi. Sekuat apa pun kamu, kamu boleh jadi lemah di beberapa keadaan. Jangan takut buat nangis. Oke?

"Oke!"

Senyum Semesta mengembang kian lebar. Ia menyukai Mentari yang penurut dan terlihat ceria seperti sekarang. Pasalnya selama satu tahun lebih mereka pacaran, Mentari lebih banyak menunjukkan sikap keras kepala dan galak daripada sikap manja seperti kebanyakan cewek di luaran sana. Faktanya, Mentari itu memang perempuan paling keras kepala yang sialnya justru membuat Semesta jatuh cinta.

Jujur, sebenarnya tadi Semesta ingin membiarkan Mentari menjelaskan sendiri bagaimana faktanya pada Pak Adi. Semesta ingin Mentari terlihat mandiri dan tidak bergantung pada siapa pun dalam menyelesaikan masalah ketika di hadapan dosen. Namun, karena Mentari terlalu belibet saat menjelaskan—efek karena cewek itu menahan rasa kesal dan amarah yang terlalu menggebu-gebu—dengan terpaksa Semesta akhirnya ikut membantu.

PELUK UNTUK SEMESTA (PRE ORDER)Where stories live. Discover now