21. Egois

2.1K 220 131
                                    

21. Egois

"Aku nggak punya kapasitas untuk memaksa kamu biar sama aku terus. Tapi kali ini aja, aku ingin egois. Aku mau kamu selamanya."

***

PLAK!!!

Satu tamparan mendarat tepat di pipi kanan Semesta. Badannya membeku di pertengahan tangga dengan tatapan bingung yang ia lemparkan pada pria tua yang berdiri gagah di hadapannya.

"Apa maksud Kakek?!" tanya Semesta dengan suara tinggi. Matanya menyorot Batara tidak terima. Jelas saja ia marah jika sang kakek memberinya tamparan tanpa alasan. Ia bahkan tidak tahu kesalahannya di mana dan merasa memang tidak melakukan kesalahan apa pun. Ia baru pulang dari kampus, lalu tiba-tiba disambut tamparan Batara. Bagaimana tidak emosi?

Di sisi lain, napas Batara juga memburu naik turun. Pria tua dengan kemeja putih serta celana bahan abu-abu itu menatap Semesta penuh kilatan amarah. "Bahkan kamu masih pura-pura tidak tau kesalahan kamu setelah membiarkan diri kamu dibodoh-bodohi oleh mereka, Semesta?"

Dahi Semesta mengernyit. Ia semakin dibuat tidak mengerti dengan ucapan sang kakek. Dibodoh-bodohi oleh mereka? Mereka siapa yang kakeknya maksud?

"Bisa to the point aja nggak? Aku bukan peramal yang bisa nebak apa maksud ucapan Kakek!"

Tangan Semesta bergerak ke atas. Mengusap pipinya yang terasa panas dan perih. Namun, panas di hatinya sekarang jauh lebih mendominasi. Ia tidak menyukai cara mendidik kakeknya yang selalu egois, kasar, dan suka main tangan. Sangat jauh berbeda dengan didikan orang tuanya dulu. Yang penuh kelembutan tetapi tetap tegas.

Batara berdecih pelan. "Kamu pikir selama ini Kakek membiarkan kamu menjadi liar begitu saja? Kakek tau semua yang kamu lakukan di luar sana, Semesta. Kakek juga tau mutasi rekening kamu. Kakek bahkan tau uang 300 juta itu kamu dapat dari siapa dan kamu pakai untuk apa!"

Semesta terhenyak. Ia terdiam beberapa saat untuk mengatur emosinya yang siap meledak kapan saja. Ia juga berusaha meyakinkan dirinya sendiri untuk tidak takut menghadapi amarah kakeknya kali ini. Ia tidak melakukan kesalahan apa pun. Itu uangnya sendiri. Sekalipun ia harus menjual motor kesayangannya pada Biru, itu adalah haknya. Tidak ada hubungannya dengan sang kakek. Begitu juga untuk apa uang itu ia gunakan. Itu sepenuhnya haknya. Jadi, untuk apa ia takut?

"Kenapa kamu diam saja? Kamu sudah sadar kalau selama ini kamu dibodoh-bodohi oleh perempuan itu dan keluarganya?"

Tangan Semesta mengepal kuat. Emosi yang berusaha ia redam sejak tadi, kini seolah buyar begitu saja. Ia paling tidak suka saat mendengar kakeknya membawa-bawa nama Mentari dalam perdebatan mereka. Apalagi sampai merendahkan Mentari dan keluarganya.

"Jaga omongan Kakek! Mentari dan keluarganya nggak serendah itu! Mereka nggak pernah bodoh-bodohin aku kayak yang Kakek tuduhin barusan!"

Tawa mengejek Batara menggelegar. Memenuhi sudut-sudut kosong rumah megah ini. "Terus apa namanya kalau tidak dibodoh-bodohi? Bahkan kamu rela menjual motor kamu dan memakai uang tabungan kamu hanya untuk melunasi hutang ayahnya Mentari di rentenir, kan?"

"Bodoh!" Batara menatap Semesta dengan tatapan mengejek. "Apa yang kamu harapkan dari dia? Dia cuma anak seorang pria yang dipecat dari pekerjaannya secara tidak terhormat karena korupsi uang kantor, lalu menjadi tukang ojek yang hutangnya ada di mana-mana. Masa depan kamu bisa hancur, Semesta! Apa kamu mau jadi pahlawan kesiangan buat mereka?"

"Terserah Kakek mau ngomong apa!" Semesta menjeda ucapannya, tatapannya semakin menajam seiring dengan kepalan tangannya yang kian erat. "Dan soal uang itu, mereka, baik Mentari, Om Bagas dan Tante Kinan, sama sekali nggak pernah maksa aku buat bantuin hutang mereka. Justru aku sendiri yang maksa!"

PELUK UNTUK SEMESTA (PRE ORDER)Where stories live. Discover now