11. Overthinking

1.6K 169 15
                                    

11. Overthinking

"Selama ini aku udah banyak kehilangan. Sampai-sampai rasa takut kadang membuat aku jadi berlebihan."

***

"Kamu nangis?"

Itu adalah pertanyaan pertama yang keluar dari mulut Semesta saat pertama kali matanya terbuka. Menatap seorang cewek dengan baju yang sudah rapi, duduk tepat di hadapannya sambil menundukkan kepala.

Mentari terkesiap. Sebelum menjawab pertanyaan Semesta yang membuatnya gelagapan, sebisa mungkin Mentari membenahi ekspresi wajahnya agar terlihat baik-baik saja di depan Semesta.

"Kamu udah bangun dari kapan?" tanya Mentari menatap Semesta sedikit panik. Ia berusaha mengalihkan pembicaraan.

Cowok yang wajahnya masih terlihat pucat pasi itu lantas tertawa pelan. Ia mengubah posisinya menjadi setengah duduk, bersandar di kepala ranjang dengan bantuan cepat dari Mentari.

"Kamu kenapa nangis?" tanya Semesta lagi. Mengabaikan pertanyaan Mentari sebelumnya. Tangannya hendak terulur untuk memberikan usapan di kepala Mentari, tetapi dengan cepat justru ditepis pelan oleh cewek itu.

Mentari menghela napas panjang melihat Semesta sedikit terkejut dengan tindakannya barusan. Ia terdiam selama beberapa detik sebelum kembali mengangkat kepala. Menatap Semesta yang kini menghadiahinya tatapan penuh selidik, dengan senyuman meyakinkan. "Aku nggak nangis. Tadi aku lagi nguap makanya keluar air mata. Masih ngantuk banget soalnya."

Semesta tersenyum lega mendengar jawaban Mentari. Ya, meski sebenarnya Semesta tahu jika saat ini Mentari sedang berbohong. Ia tidak mungkin salah lihat. Tadi Mentari terlihat sedang menangis. Bukan menguap. "Emang hari ini kita ada kelas pagi? Kok kamu udah rapi jam segini?"

Semesta melihat ke arah jam dinding yang terpasang di kamar Mentari. Jam masih menunjukkan pukul lima lebih sepuluh menit. Ini bahkan masih terlalu pagi untuk sekedar berangkat kuliah di kelas pagi mereka yang biasanya dimulai pukul tujuh.

Tatapan Semesta bergulir ke Mentari yang terlihat diam, melamun. Semesta mengangkat sebelah alisnya, seolah bertanya kenapa tanpa suara.

Beberapa detik setelahnya, lamunan Mentari buyar saat tangan dingin Semesta menyentuh lengannya. Ia mengikuti arah pandang Semesta ke pakaian rapi yang sudah melekat di tubuhnya sepagi ini, lantas menggelengkan kepala pelan. "Nggak ada kelas pagi kok. Aku mau pemotretan."

"Mentari... " Tangan Semesta kembali terulur. Kali ini ia berusaha menggenggam tangan kanan Mentari. "Aku minta maaf soal kemarin dan... "

Semesta sengaja menjeda ucapannya. Kedua mata sendunya menatap Mentari penuh perasaan bersalah. Dalam keadaan-keadaan seperti ini, ia merasa tidak berguna sama sekali. Ia merutuki dirinya sendiri yang sangat lemah. Harusnya tadi malam ia tidak pingsan. Harusnya ia tetap berusaha mendapatkan maaf sampai Mentari mau memaafkan dirinya. Tidak tiba-tiba pingsan seperti itu. Semesta takut Mentari semakin ilfeel dengan  kelemahannya ini. Ia takut semakin terlihat buruk di mata Mentari dan Mentari semakin ingin pergi darinya.

"Maaf aku selalu ngerepotin kamu dan orang tua kamu. Maaf aku nggak berguna. Maaf aku—" Semesta tidak kuat melanjutkan kalimatnya. Ia menunduk merasa dirinya sangat tidak layak untuk dicintai oleh siapa pun.

Mentari yang menyadari hal itu, dengan cepat memberikan usapan lembut di punggung tangan Semesta menggunakan satu tangan lainnya yang tidak Semesta genggam.

Merasa sedikit tenang, perlahan Semesta mengangkat kepala. Ia memberanikan diri menatap Mentari dengan sorot mata sendu. "Maaf Mentari... " ucap Semesta sungguh-sungguh. Wajahnya yang pucat itu menatap Mentari penuh akan rasa bersalah.

PELUK UNTUK SEMESTA (PRE ORDER)Where stories live. Discover now