---03---

810 172 28
                                    

"Terima kasih telah mengajarkanku bagaimana indahnya mencintai dan sakitnya sakit hati."

*****

"Selamat pagi, Agita," sapaan hangat itu memasuki liang pendengaranku secara paksa. Aku menengok, dan mendapati Nathan sedang berdiri di belakangku dengan senyum terbaiknya.

Senyumku mengembang. Jantungku berdetak lebih cepat saat ini. Selalu seperti itu saat aku sedang berhadapan dengan Nathan. "Pagi, Nath," balasku.

"Ke kelas bareng, yuk," ajak Nathan. Tanpa menunggu jawabanku, Nathan segera menarik tanganku dan menggenggamnya erat.

Aku tidak bisa fokus. Aku tidak bisa fokus. Aku tidak bisa fokus.

"Ngomong-ngomong, Git." Aku menolehkan kepalaku, menatap Nathan yang juga sedang menatapku. "Cewek, tuh, suka kado apa, ya?"

Aku berpikir sejenak, "Tergantung ceweknya siapa," jawabku.

"Kalau Vira?"

Hah?

"Lo tau 'kan sebentar lagi Vira ulang tahun?" Aku mengangguk. "Nah, gue mau buat hari ulang tahunnya kali ini jadi lebih... spesial."

"Kenapa?" tanyaku pelan.

"Karena...," Nathan menarik napas panjang, "Karena gue suka sama Vira. Gue..., gue suka sama sahabat lo."

*****

Malam yang damai.

Aku berdiri di balkon kamarku. Menikmati udara malam yang berembus menerpa kulitku.

Refleks, aku mengeratkan pelukanku pada diriku sendiri saat merasakan hawa dingin yang menusuk tulang.

Air mataku sudah habis sedari tadi. Entah bagaimana nasibku besok saat teman-teman sekelasku melihat keadaan mataku yang sembab.

Sekali lagi, handphone-ku berdering, menampilkan nama Nathan di caller ID.

Entah sudah keberapa kalinya aku menggeser warna merah di layar. Aku benar-benar tidak ingin menjawab panggilannya. Tanpa melakukan itu pun aku sudah tahu apa yang akan Nathan katakan.

Suasana kembali hening. Hanya ada suara jangkrik yang terdengar di telingaku.

Tapi, keheningan itu tidak berlangsung lama. Handphone-ku kembali berdering. Kali ini bukan dari Nathan, tapi dari Farrel.

Aku mengembuskan napas perlahan. Niatku ingin menolak panggilan, tapi jariku melakukan hal lain. Yaitu menerima panggilan.

Aku mendekatkan handphone milikku ke telingaku. Kemudian mendengarkan hembusan napas lega dari seberang sana.

"Lo tau, Git. Gue khawatir banget sama lo," ujar Farrel kesal, tanpa salam sama sekali. "Ke mana aja lo? Kenapa lo nggak ngejawab panggilan gue?"

Aku mengembuskan napasku lirih kemudian berkata, "kenapa lo khawatir sama gue? Gue bukan siapa-siapa lo."

"Gue juga nggak tau kenapa gue khawatir sama lo. Yang gue tau adalah, gue harus ngejaga lo, Git. Dan juga, gue nggak bisa ngeliat lo nangis kayak tadi. Rasanya kayak gue nggak berhasil ngejaga lo," balas Farrel panjang.

Aku membeku di tempat. Napasku seolah tercekat saat mendengar kata-katanya.

"Entah kenapa, rasanya sakit saat ngeliat lo ngeluarin air mata lo buat orang yang bahkan nggak bakal nangisin elo."

Aku terenyuh mendengar ucapan Farrel. Walaupun aku tidak bisa melihatnya sekarang, tapi aku yakin, ia sedang tersenyum tipis.

"Nggak usah khawatirin gue lagi, Rel," ujarku pelan. Aku tidak mau jatuh untuk yang kedua kalinya.

The RegretWhere stories live. Discover now