---10---

377 88 4
                                    

"Be mine. Please."

"A-apa kata lo barusan?" Gita menatap Farrel tak percaya. Tak lama, ia tertawa renyah, seolah Farrel baru saja melontarkan satu candaan.

"Gue nggak lagi bercanda, Agita," balas Farrel. Ia menggamit tangan Gita, kemudian menggenggamnya erat. Sesekali, ibu jarinya mengelus punggung tangan gadis itu.

"Nunggu empat bulan buat ngungkapin perasaan gue secara langsung, tepat di hadapan lo, itu terlalu lama," lanjut Farrel.

Gita terdiam di tempatnya. Ia tidak percaya Farrel akan mengungkapkan perasaannya secepat ini. Dan kalau boleh jujur, ia tidak mengira sedikitpun.

Farrel tersenyum tipis. "Oke. Itu terlalu cepat," ujarnya sambil melepaskan genggaman tangannya. "Anggap aja itu cuma latihan. Yah, seenggaknya gue ada persiapan bakal lo tolak, empat bulan lagi."

"Pulang, yuk," ajak Farrel. Ia bangkit dari kursinya. Sementara Gita hanya mengangguk pelan, kemudian mengikuti Farrel keluar café.

"Farrel," panggil Gita pelan. Farrel menolehkan kepalanya. Matanya menatap Gita seolah bertanya 'apa?'.

"Lo nggak marah, kan?" tanya Gita. Ia memainkan ujung bajunya.

Farrel menggeleng pelan sambil tersenyum tipis. Sebelah tangannya merangkul pundak Gita. "Ngapain, sih gue marah?" ucapnya santai. "Tenang aja kalau sama gue."

"Sebenernya, gue mau nanya satu hal." Gita berhenti berjalan. "Apa, sih yang ngebuat lo ngejar gue sebegitunya? Kayak nggak ada cewek lain aja."

"Kenapa gue ngejar lo sebegitunya? Karena gue memperjuangkan apa yang menurut gue pantas diperjuangkan," jawab Farrel. Ia menarik napas panjang.

"Dan yang kedua. Cewek emang banyak, Git. Tapi, kalau gue cuma mau lo gimana?" lanjut Farrel. "Gue ngeliat cewek dengan cara yang berbeda, nggak kayak cowok lain."

"Maksud lo?" Gita menatap Farrel tak mengerti. "Berbeda? Berbeda gimana, sih?"

Farrel mengendikkan bahunya. "Beda aja gitu," jawabnya. "Cukup sesi tanya jawabnya. Mendung, nih. Nanti kalau kehujanan, terus sakit, gue lagi yang repot."

Gita memutar bola matanya. "Gue yang sakit kenapa lo yang repot?"

"Soalnya, kalau lo sakit, tiap malem gue pasti kepikiran lo gimana," balas Farrel. "'Agit gimana, ya? Duh... Derin ngurusinnya bener nggak, ya? Atau jangan-jangan cuma ditelantarin gitu aja?' Ya gitu, deh."

"Nggak jelas banget, sih lo," ucap Gita jutek. Ia kembali berjalan di sebelah Farrel, seiring dengan rintik-rintik hujan yang mulai membasahi bumi.

"Aku percaya bahwa akan ada pelangi setelah hujan. Sama seperti aku percaya bahwa dirimu akan membalas perasaanku."

*****

Satu hal yang paling Farrel benci adalah hujan. Karena hujan mampu mengingatkannya dengan masa lalu.

Tapi, semua berbeda ketika gadis itu ada di sebelahnya, berdiri bersamanya.

"Rel," panggil Gita. Ia menjulurkan tangannya, membiarkan air hujan membasahi permukaan kulitnya.

"Ya?"

Gita mengembuskan napasnya perlahan, kemudian menggosokkan kedua tangannya. "Gue kedinginan, ih," balasnya.

"Dingin, ya," ucap Farrel. Ia menghadapkan tubuhnya ke arah Gita, kemudian menggamit tangan gadis itu dan menggenggamnya erat. "Sebenernya lebih hangat kalau dipeluk, sih. Tapi gue masih inget, kok ini tempat umum."

"Apa, sih lo?" gerutu Gita. Ia berdecak pelan. Tapi, ia masih membiarkan tangannya digenggam oleh Farrel yang membuatnya merasa hangat.

"Git," panggil Farrel.

The RegretWhere stories live. Discover now