---13---

322 54 7
                                    

Jam di kamar Gita masih menunjukkan pukul setengah lima pagi. Sementara gadis itu masih duduk di depan meja rias sambil menyisir rambut panjangnya saat mendengar suara ketukan di pintu. Gita menghela napasnya sesaat, lalu bangkit dengan rasa malas yang masih menguasai dirinya dan berjalan menghampiri pintu. Tapi, ia berhenti berjalan sambil berpikir, siapakah yang mengetuk pintunya di pagi hari ini?

Bahkan Gita ingat kebiasaan Derin yang tidak akan bangun sebelum dibangunkan.

Jangan-jangan itu setan, batinnya.

Gita bergidik sejenak. Kemudian menggeleng perlahan, berusaha membuang pikiran negatifnya sejauh mungkin. Lagi-lagi, terdengar suara ketukan di pintu kamarnya. Kali ini, terdengar lebih lembut. Diikuti oleh lampu yang tiba-tiba mati.

Refleks, Gita berteriak memanggil nama Derin. Ia memejamkan matanya, kemudian mundur beberapa langkah, berniat menyenderkan tubuhnya ke dinding.

Tapi, seseorang langsung mendekapnya dengan erat, kemudian menggiringnya keluar kamar. Sampai akhirnya, mereka berdua sampai di ruang tamu. Orang itu melepaskan dekapannya, kemudian memegang kedua pundak Gita dengan lembut.

"Udah, Git, udah. Nggak ada apa-apa, kok," ucap orang itu, berusaha menenangkan Gita yang masih saja memejamkan matanya.

Gita membuka matanya saat mendengar suara yang dikenalnya itu.

"Kok... kok lo bisa di sini, Nath?" tanya Gita. Ia menatap Nathan penuh tanda tanya. Sementara kakinya mundur beberapa langkah, kemudian duduk di atas sofa ruang tamunya.

"Gue lagi iseng lari pagi aja, sih. Dan kebetulan, gue lewat sini. Dan rencananya, sih tadi mau ngajak lo lari pagi. Pas gue ngetuk pintu kamar lo, tiba-tiba mati lampu," jawab Nathan, menjelaskan.

"Jadi, lo mau nggak lari pagi sama gue?" lanjut Nathan. Ia duduk di sebelah Gita, menatap gadis yang tengah berpikir itu. "Kalau nggak mau, sih nggak apa-apa."

"Ummm... boleh, deh. Gue juga males di rumah," jawab Gita sambil bangkit dari sofa. "Gue mau ambil jaket dulu sebentar." Ia berjalan menuju kamarnya, lalu mengambil jaketnya dan menggunakannya. Kemudian, ia menghampiri Nathan yang masih duduk manis di sofa.

"Nath," panggil Gita yang membuat Nathan menolehkan kepalanya ke arah gadis itu.

Nathan tersenyum simpul sejenak seraya bangkit dari sofa. "Oh, iya. Kakak lo mana? Gue mau ijin nyulik adeknya dulu," ujar Nathan. "Masa iya, sih nggak ngomong dulu. Nanti dikira yang aneh-aneh."

Gita tersenyum tipis sambil menarik lengan Nathan. Ia berkata, "nggak usah. Kak Derin masih tidur kayaknya." Ia menutup pintu rumahnya perlahan.

"Setelah lo teriak-teriak kayak tadi, dia belum bangun juga? Sungguh mengejutkan." Nathan bersidekap dan berdecak beberapa kali. "Gue berharap bisa tidur kayak dia."

"Udah cepet," ujar Gita. Tangannya kembali menarik lengan Nathan.

Nathan terkekeh geli sejenak, kemudian mensejajarkan langkahnya dengah langkah Gita. "Kenapa kayaknya buru-buru banget, sih?" tanyanya heran.

"Nggak pa-pa," jawab Gita singkat.

Nathan menaikkan sebelah alisnya heran, sementara kedua matanya menatap Gita penuh tanda tanya. "Lo kenapa?" tanyanya sekali lagi. "Kalau nggak mau lari pagi juga nggak apa-apa, kok."

Gita menghentikan langkahnya, tangannya memainkan ujung kaos yang ia gunakan. "Gue mau, kok lari pagi," ujarnya pelan. "Tapi... nggak tau kenapa, gue mikirin Kak Derin di rumah sendirian. Kata Kak Derin, nih, ya, di rumah gue itu, suka ada yang iseng gitu, deh."

"Loh? Sebelum kakak lo pulang, bukannya lo sendirian, ya? Nggak ada apa-apa, kan?" ucap Nathan heran. "Palingan kakak lo itu cuma bercanda. Lo ngapain takut, sih?"

Gita menggeleng perlahan. "Gue juga nggak ngerti, sih. Tapi kata dia lagi, mereka itu pengikutnya kakak gue itu. Kan gue jadi takut sendiri. Mana tadi pagi mati lampu lagi," ujarnya panjang seraya memeluk tubuhnya sendiri. "Lo tau, kan Kak Derin itu bisa ngeliat begituan."

Tiba-tiba, ide jail Nathan terbit di otaknya. "Oh, iya, Git. Nyadar nggak, sih kalau cuma rumah lo yang mati lampu di kompleks ini?" tanya Nathan. Ia memperhatikan sekitar dengan gerakan pelan, membuat efek menakutkan versinya sendiri. "Jangan-jangan itu ulah penunggu-penunggu di rumah lo."

"Nathan! Jangan ngomong yang aneh-aneh!" teriak Gita histeris saat Nathan mengangkat topik penghuni rumahnya. "Udah, ah gue mau pulang."

Gita membalik tubuhnya, kemudian berjalan menjauhi Nathan yang masih tertawa di tempatnya berdiri sekarang. "Yakin mau pulang? Kalau tiba-tiba lo digangguin gimana?" goda Nathan. Ia memperhatikan Gita yang berhenti berjalan, kemudian kembali berlari menghampirinya.

"Ayo temenin gue pulang," pinta Gita.

Nathan terkekeh geli sekali lagi, kemudian merangkul pundak Gita dan menggiring gadis itu ke rumahnya.

"Oh, ya, Git."

"Ya?"

"Nanti agak siangan jalan, yuk. Gue bosen banget hari ini nggak ngapa-ngapain," ajak Nathan.

Gita tampak berpikir sejenak. Ia mendekatkan jari telunjuknya ke bibirnya dengan tatapan yang menerawang. Tak lama, ia mengalihkan pandangannya ke arah Nathan yang menatapnya penuh harap. "Boleh," jawab Gita pada akhirnya. Ia tersenyum tipis sejenak, kemudian berkata, "sekarang, anterin gue pulang dulu."

Nathan mengangguk pelan. Tangannya terangkat, mengacak rambut Gita. "Yaudah, yuk."

*****

Pukul satu siang ini matahari bersinar lumayan terik. Sesekali, angin berhembus, menerbangkan rambut gadis yang sedang duduk sambil menikmati segelas es krim vanila favoritnya. Di hadapannya, seorang cowok duduk sambil memperhatikan gadis itu.

"Kenapa lo ngeliatin gue?" gadis bernama lengkap Agita Adeeva itu bertanya. Matanya sedikit menyipit.

Cowok itu, Nathan, menggeleng perlahan. "Udah makan es krimnya?" ia balik bertanya. "Kalau udah, sih rencananya gue mau ngajak lo nonton."

Mata Gita berbinar saat mendengar ajakan Nathan. "Nonton? Boleh, tuh. Nonton apaan?" tanyanya semangat. Ia sedikit memajukan tubuhnya.

"Lo tau film horor yang baru rilis itu nggak?" Nathan terkekeh geli sejenak. Ia tahu, Gita adalah seorang gadis yang penakut.

Gita memundurkan tubuhnya, kemudian bersender ke sandaran kursi. "Nggak mau, ah kalau horor," ujarnya pelan. "Gue nggak suka nonton yang serem-serem begitu." Bibirnya mengerucut sebal, sementara kedua tangannya terlipat di depan dada.

Entah kenapa, Nathan berpikir ekspresi gadis itu sangat menggemaskan akhir-akhir ini. Itulah mengapa ia suka menggodanya.

"Ada gue ini, sih," ucap Nathan. Ia mengambil sendok yang ada di gelas es krim itu, kemudian menyendokkan sedikit es krim. "Bagi, ya."

Gita mengangguk pelan. Tapi, sedetik kemudian, ia menggeleng cepat. "Nggak! Nggak horor!" ujarnya keukeh. "Gue nggak mau kalau nonton yang begitu-begitu. Mau ada lo atau siapapun itu, gue nggak bakal mau!"

"Yaudah," ucap Nathan pada akhirnya. Ia menyenderkan tubuhnya di sandaran kursi. "Kalau gitu, gimana kalau kita ke toko buku aja?"

Gita berdecak pelan. "Lo mau bikin gue kalap buat beli buku, heh?" ujarnya. "Ini akhir bulan, Nathan sayang. Dan uang bulanan gue udah menipis sekarang."

"Ck. Iya juga, sih," gumam Nathan. Ia memperhatikan sekitar, berusaha mencari ide untuk menghabiskan waktu di akhir pekan ini.

Tapi, pandangannya berhenti saat melihat seorang cowok yang sepertinya ia kenal sedang berjalan bersama seorang gadis. Mata Nathan menyipit, berusaha melihat siapakah cowok itu.

"Eh, Git," panggil Nathan. "Lo kenal sama cowok itu nggak? Kok kayaknya gue kenal deh."

Gita menolehkan kepalanya ke arah pandang Nathan. Dan tepat saat itu, matanya melebar kaget. Dadanya seperti terhimpit. Sesak.

"Fa-Farrel?"

*****

The RegretWhere stories live. Discover now