---14---

309 57 4
                                    

Gita duduk di balkon kamarnya dengan secangkir coklat hangat di tangannya. Ia menarik napas panjang sambil memejamkan matanya, menikmati angin yang berhembus menerpa kulitnya. Sekali lagi, handphone-nya berdering. Layarnya masih menunjukkan nama yang sama dengan sebelumnya.

Farrel is calling...

Tanpa sadar, Gita mengembuskan napasnya lirih. Ia mengganti mode handphone-nya menjadi silent, kemudian menyimpan benda itu di saku jaket yang ia gunakan.

Lagi-lagi, air mata Gita menetes dari sudut matanya. Ia menggigit bibir bawahnya, berusaha tidak mengeluarkan suara sedikitpun.

Tiba-tiba, Gita mendengar suara langkah kaki yang mendekat. Refleks, ia menolehkan kepalanya dan lansung mendapati Farrel sedang berdiri tak jauh darinya dengan raut wajah yang menunjukkan kekhawatiran.

Dengan cepat, Gita menyeka air matanya. Kemudian menatap Farrel dengan tatapan tajamnya. "Ngapain lo di sini?" tanyanya sinis.

Farrel menaikkan sebelah alisnya dengan raut wajah terkejut. Ia bertanya, "Mata lo kenapa sembap gitu?"

Gita memutar tubuhnya sambil bersidekap. "Bukan urusan lo," jawabnya dingin. "Jawab pertanyaan gue! Ngapain lo ke sini?"

Farrel memegang pundak Gita sambil menghela napas panjang. "Gue khawatir sama lo, Git. Daritadi gue hubungin lo, tapi nggak ada jawaban," balasnya. "Lo kenapa, sih? Gue ada salah? Atau apa?"

Gita mendengus pelan. Tangannya mengenyahkan tangan Farrel yang ada di pundaknya. "Bukannya lo bisa baca pikiran? Kenapa lo nggak bisa tau gue lagi kenapa?"

Farrel mengerang pelan. Ia mengacak rambut coklatnya, kemudian membalik tubuh Gita, memaksa gadis itu untuk berdiri berhadapan dengannya.

"Kondisi gue lagi kacau, Git. Gue nggak bisa baca pikiran lo sedikitpun," ucap Farrel lirih. "Please, kasih tau gue. Lo kenapa?"

Mendengar ucapan Farrel membuat Gita membeku di tempatnya. Ia mengangkat kepalanya, dan menatap Farrel tepat di manik mata yang terhalang lensa kaca mata itu. Kekecewaan terpancar jelas di sana. Dan entah kenapa malah membuat Gita merasa tidak tega.

Farrel kenapa?, batinnya.

"Please... kasih tau gue. Lo kenapa, Git? Gue nggak bisa kalau begini," pinta Farrel yang langsung membuat Gita tersadar dari lamunannya.

Dengan tarikan napas panjang, Gita berucap, "tadi siang, siapa cewek yang bareng lo di kedai es krim itu?"

Farrel sedikit terkejut. Tapi, ia segera menjawab, "Dia Alyssa, anaknya temen Bunda gue yang dari London. Dia baru sampai di Jakarta kemaren, dan tadi dia minta dianter ke kedai es krim itu. Sebenernya gue nggak mau. Tapi, Bunda gue tetep nyuruh gue buat nganterin Lyssa."

"Lo... lo nggak ada apa-apa, kan sama si Alyssa-Alyssa itu?" tanya Gita tanpa sadar. Dan sedetik kemudian, ia menutup mulutnya dengan wajah yang merona.

Mendengar pertanyaan Gita membuat Farrel terkekeh pelan. Sejenak, ia bisa melupakan masalah yang ada di pikirannya.  "Kenapa emangnya? Lo cemburu, eh?" goda Farrel. Ia menggamit kedua tangan Gita, kemudian menggenggamnya erat. "Nggak pa-pa, kok kalau lo cemburu. Gue malah seneng."

Gita menggeleng cepat. "Apaan, sih? Gue nggak cemburu, kali. Ngapain juga gue cemburu," elaknya.

Farrel tersenyum menggoda. Ia memainkan alisnya, lalu bertanya, "tapi lo nggak suka, kan kalau gue deket-deket sama Lyssa?"

"Biasa aja, sih," jawab Gita. Ia menarik kedua tangannya yang ada di genggaman Farrel, kemudian bersidekap. "Terserah lo aja mau deket-deket sama siapa."

"Yakin? Bukannya barusan lo nangis gara-gara gue?"

Lagi-lagi, perkataan Farrel mampu membuat wajah Gita merona malu. Refleks, ia memukul lengan Farrel kesal.

Farrel terkekeh pelan. Tangannya mengelus rambut Gita lembut, kemudian menarik gadis itu ke dalam dekapannya.

"Rel," panggil Gita.

"Ya?"

Gita menarik napas panjang, menghirup aroma khas dari tubuh Farrel, kemudian memejamkan matanya.

"Kalau gue berharap lo ada di samping gue terus, lo bisa nyanggupin nggak?" tanya Gita yang membuat Farrel membeku di tempatnya.

Pikiran Farrel sontak melayang pada kejadian sore hari ini. Di mana Irene memaksa cowok itu untuk kembali ke Inggris setelah kenaikan kelas nanti. Itu berarti, Farrel hanya memiliki sisa waktu yang sedikit. Sampai akhirnya ia harus kembali ke tempat kelahirannya itu.

"Gue... gue nggak tau," jawab Farrel gamang. "Tapi, gue bakal berusaha, Git. Gue bakal berusaha biar gue ada di samping lo terus. Gue bakal berusaha biar gue bisa meluk lo terus. Gue bakal berusaha biar gue bisa jaga lo terus. Sampai pada akhirnya, waktu gue buat ada di dekat lo habis."

Gita mengeratkan pelukannya pada tubuh Farrel. Entah kenapa, ada sesuatu yang mengganjal di hatinya saat mendengat kata-kata Farrel. "Janji sama gue," pinta Gita lirih.

"Gue nggak bisa janji, Git. Gue nggak bisa," jawab Farrel pelan. Ia mencium puncak kepala Gita, kemudian berkata, "Tapi, lo harus yakin. Sejauh apapun gue pergi, gue nggak akan pernah berhenti ngejaga lo."

*****

Dengan gontai, Farrel membuka pintu rumahnya. Matanya terlihat berkaca-kaca dengan air mata yang terbendung di sudut matanya. Dan saat ia mendapati Irene sedang duduk di sofa ruang tamu, air matanya langsung mengalir membasahi pipinya. Dengan cepat, Farrel menghampiri sang Bunda, kemudian berlutut di hadapannya.

"Bun..." panggil Farrel lirih. Sementara Irene hanya diam sambil bersidekap. "Bunda... jawab aku."

"Ngapain kamu begitu?" tanya Irene sinis. "Mending kamu masuk ke kamar kamu!"

"Maafin aku..." lirih Farrel dengan mata yang tertutup rapat. Ia enggan bangkit dari posisinya. "Aku bakal ngelakuin apapun biar Bunda mau maafin aku."

Irene berdecak pelan. "Bunda nggak percaya," ujar sinis.

"Tolong, Bun. Maafin aku. Aku janji nggak bakal ngelawan Bunda lagi."

Irene bangkit dari posisinya. "Kalau gitu, minggu depan ajak pacar kamu itu ke sini. Bunda mau liat, apa dia pantas buat kamu atau enggak. Biar Bunda bisa bandingin, lebih baik dia atau Lyssa."

Farrel membeku di tempatnya. Ia tidak menyangka, Irene benar-benar ingin memindahkannya ke London, dan menjodohkannya dengan Lyssa. Ingin rasanya Farrel berteriak, menolak keinginan Bundanya itu. Tapi, yang ia lakukan hanya mengangguk lemah, kemudian masuk ke kamar kakaknya.

*****

Melya sedang mendengarkan musik saat tiba-tiba pintu kamarnya dibuka. Diikuti oleh Farrel yang masuk ke dalam kamarnya dan berbaring di sebelahnya.

"Lo kenapa dateng-dateng kayak orang frustasi gini, Dek?" tanya Melya heran. Ia mengecilkan volume musik yang sedang didengarkannya.

"Menurut lo, lebih baik Lyssa atau Agita, Kak?" Fartel balik bertanya.

Melya tampak berpikir sejenak. "Ya mendingan Agita, lah. Maaf maaf aja, gue nggak suka sama si Alyssa itu," jawabnya.

Farrel menarik napas panjang. Ia memeluk guling kesayangan Melya yang menbuat gadis itu mendengus kesal.

"Emang kenapa, sih lo nanya begitu? Lo mau dijodohin sama si Alyssa?" tanya Melya tepat sasaran setelah ia berhasil merebut gulingnya kembali.

Pas banget...

Farrel mengangguk lemah. Matanya menatap langit-langit kamar kakaknya itu.

"Dan... lo nolak, kan?" tanya Melya sekali lagi. "Gue berharap banget lo nggak nikah sama Alyssa. Dan dia nggak jadi adek ipar gue."

"Gue nggak bakal mau jadi suaminya dan tidur seranjang sama dia," gumam Farrel. Dan gue bakal berusaha biar itu semua nggak terjadi, lanjutnya dalam hati.

"Kak, bantu gue biar gue nggak jadi nikah sama Lyssa, ya," pinta Farrel.

"Gue bakal coba, Rel. Gue bakal coba."

*****


The RegretWhere stories live. Discover now