---06---

510 124 3
                                    

Bel istirahat berbunyi dua kali.

Aku berjalan menuju kelasku, 11 IPA 3 dengan tidak semangat dengan Farrel yang berjalan di sebelahku.

Aku menarik napas panjang sambil menghentikan langkahku. Sontak saja, Farrel juga ikut berhenti. Ia menolehkan kepalanya ke arahku dengan heran.

"Kenapa, Git?" tanyanya seraya menaikkan sebelah alisnya.

Aku tersenyum tipis sejenak, "Lo jalan duluan, ya," jawabku. "Atau gue yang duluan?"

Farrel tampak heran dengan jawabanku. Ia mengerutkan keningnya. "Emangnya kenapa, sih?" tanyanya lagi. "Udah barengan aja."

Aku menggeleng cepat. "Nggak bisa gitu, Rel." Aku menarik napas panjang, kemudian berjalan mendahuluinya. "Yaudah, gue duluan."

Aku bisa mendengar Farrel berdecak pelan. Tapi, aku hanya bisa mengembuskan napas lirih sambil bergumam, "maafin gue, Rel. Ini semua demi persahabatn gue."

Aku membuka pintu kelasku perlahan. Dan tepat saat itu, aku merasakan satu tamparan keras di pipiku. Sontak saja, aku memejamkan mataku sambil meringis pelan. Tanganku memegang pipiku yang terasa panas karena tamparan itu.

Suasana kelas yang awalnya ramai menjadi hening. Aku membuka mataku dan mendapati Vira sedang menatapku dengan tatapan bencinya.

"Lo emang bener-bener jahat, ya!" bentak Vira di hadapanku. "Bisa-bisanya lo deketin pacar orang!"

Aku meringis tertahan. Mataku mulai berkaca-kaca karena bentakan Vira dan karena sakit di pipiku.

"Lo ngerti perasaan gue nggak, sih?! Gue sahabat lo sendiri, Agita! Dan bisa-bisanya lo berkhianat di belakang gue?!" lanjutnya.

Aku menggeleng cepat, membiarkan air mataku mengalir di pipiku. "Enggak, Vir. Gue nggak bakal khianatin sahabat gue sendiri," elakku. "Gue nggak berniat ngerebut Farrel dari lo."

Vira tertawa sinis. Ia bersidekap, kemudian berdecak pelan. "Lo gampang ngomong. Tapi emangnya lo lakuin? Enggak, Git. Jangan harap gue percaya lagi sama lo!" Vira melangkah meninggalkanku.

Tiba-tiba, seseorang menarikku. Aku menyeka air mataku dengan kasar, kemudian agak menyipitkan mataku.

"Lo jangan nangis di depan anak kelas gitu, Git," ucap Nathan sambil memberikanku sehelai tissue. Ia tertawa pelan. Tangannya mengelus pipiku yang masih terasa panas.

"Vira ternyata jahat banget, ya," gumamnya. Matanya menatap mataku. "Gue nggak nyangka ada sahabat yang berani nampar sahabatnya sendiri."

Aku menggeleng pelan. "Bukan Vira yang jahat. Gue yang jahat, Nath," balasku lirih. "Vira berhak buat nampar gue. Gue udah terlalu sering janji sama dia, dan gue yang ingkar."

Nathan mengelus rambutku lembut. "Lo nggak salah, kok," ujarnya lembut, tepat di telingaku. "Apapun yang terjadi, ini semua bukan salah lo."

Aku mengembuskan napasku lirih sambil menggeleng perlahan. "Gue mau ke kelas," ujarku sambil berlalu meninggalkan Nathan.

Aku berjalan menuju kelasku perlahan. Sedari tadi, terdengar bisikan-bisikan dari siswa-siswi yang aku lewati. Beberapa melirik sinis ke arahku, beberapanya lagi menatapku secara terang-terangan.

"Liat, tuh. Genit banget, ya sama anak baru."

"Gue denger dia berusaha ngerebut Farrel dari Vira."

"Iya apa? Selama ini gue pikir di baik."

"Keliatannya aja kalem. Eh, ternyata berani ngegodain pacar orang juga."

Aku menarik napas panjang saat mendengar ucapan-ucapan yang ditujukan kepadaku. Aku memejamkan mataku sejenak, kemudian kembali melanjutkan jalanku, berusaha untuk tidak menggubris ucapan mereka.

The RegretWhere stories live. Discover now