---04---

624 159 37
                                    

"Perasaan itu bukanlah mainan yang bisa kau mainkan seenaknya."

*****

Aku dapat melihat Vira membeku di tempat duduknya. Raut wajahnya menunjukkan bahwa ia sangat marah kepadaku.

Sontak saja, aku mendorong tubuh Farrel, kemudian merebut tasku.

"Lo kenapa, sih, Git?" tanya Farrel heran. Ia mengelus lengannya yang barusan membentur kusen pintu.

Aku menggeleng perlahan, kemudian berjalan ke bangkuku dan duduk di sana. Mataku menatap Vira penuh rasa bersalah.

"Vir," panggilku takut-takut. Tanganku hendak meraih tangannya, tapi langsung ia enyahkan.

"Jadi begitu yang namanya sahabat?" ujar Vira sinis. Matanya menatapku tajam. "Ada, ya sahabat berani nikung sahabatnya sendiri. Ha-ha." Ia tertawa sinis. Tapi, aku bisa mendengar kekecewaan dalam tawanya.

"Vir, biar gue jelasin. Gue nggak ada hubungan apa-apa sama Farrel," ujarku menjelaskan. "Gue bahkan nggak ada perasaan sama dia."

Vira melipat kedua lengannya di depan dada seraya berkata, "oh, ya? Terus tadi rangkul-rangkulan itu apa?"

Aku memejamkan mataku, membiarkan air mataku mengalir di pipiku. "Lo harus percaya sama gue, Vir," ucapku memohon. Aku menempelkan kedua telapak tanganku. "Please... lo percaya, 'kan sama gue?"

Vira berdecih pelah. "Harus berapa kali gue percaya sama?" tanya Vira sinis. "Sampai pada akhirnya gue ngeliat kalian berdua jadian di depan mata gue?"

Aku kehabisan kata-kata.

Benar kata Vira. Apakah aku harus terus berjanji, kemudian aku mengingkarinya lagi, dan aku berjanji lagi? Berkata bahwa itu terakhir kalinya tapi keesokan harinya sudah melakukan lagi.

"Gue juga punya kesabaran, Agita. Dan kesabaran gue udah habis sekarang," ucap Vira kecewa. Ia bangkit, kemudian berjalan ke arah Farrel.

Aku menajamkan telingaku, berusaha menguping apa yang Vira bicarakan dengan Farrel.

"Rel, nanti pulang sekolah ikut gue bentar, ya." Samar-samar, aku mendengar suara Vira yang agak memohon itu.

"Hah? Mau ke mana?" tanya Farrel heran. Ia menatapku sesaat, kemudian kembali menatap Vira. "Tapi gue nggak bisa kalau pulang sekolah."

Raut kekecewaan tampak di wajah Vira. "Yah... gue mau ngomong sebentar. Mau, ya," pintanya sekali lagi.

Farrel tampak berpikir sesaat. Ia mengambil sesuatu di dalam saku seragamnya. "Bentar, ya. Gue mau nanya bunda gue dulu. Katanya, sih gue disuruh nganterin dia," ujarnya sambil mengetik sesuatu di handphone-nya.

Tepat saat itu, handphone milikku yang ada di saku seragamku bergetar. Aku mengambilnya dengan heran, kemudian melihat notifucation bar.

Farrel Reyhan : boleh, Git?

Aku menolehkan kepalaku ke arah Farrel. Ia sedang menatapku dengan tatapan memohon.

Agita Adeeva : boleh apa?

Farrel Reyhan : gue tau dari tadi lo ngedengerin Vira ngomong apa ke gue.

Farrel Reyhan : boleh nggak?

Agita Adeeva : terserah lo aja.

Agita Adeeva : itu urusan kalian berdua.

Aku memasukkan handphone-ku ke dalam saku, kemudian kembali mendengarkan Vira dan Farrel yang berbicara.

"Yaudah, deh. Tapi bentar, ya," jawab Farrel pada akhirnya.

The RegretWhere stories live. Discover now