3. Nostalgia Kelabu

92.8K 6.6K 60
                                    

Bagian Tiga

Pertama kali yang dirasakannya saat membuka mata adalah pandangannya yang kabur dan kepalanya yang begitu berat, seperti dijatuhi beban berkilo-kilo.

Farel menarik nafas, menganti posisi tidurnya yang tengkurap menjadi berbaring. Tatapannya lalu beralih menuju celah di jendela kamarnya yang samar-samar memancarkan cahaya terang dari luar.

Tangannya ia taruh di samping kanan dan kiri tubuhnya berfungsi sebagai penyangga untuk ia mengubah posisinya menjadi duduk.

Lama, ia mencoba mengumpulkan nyawa sambil memijat kepalanya yang sangat sakit.

Mendadak perutnya merasa mual, ia langsung lari terbirit-birit menuju kamar mandi yang berada di dalam kamarnya. Memuntahkan apa saja yang mengisi perutnya itu hingga ia merasa perutnya terkuras kosong akibat muntah tadi.

Setelah mencuci muka dan menggosok gigi, Farel memilih untuk turun ke bawah dan minum air putih.

Setidaknya hal itu mampu membuat sakit di kepalanya reda, untunglah hari ini Farel tidak bekerja karena proyek pembangunan gedung perkantoran di wilayah Sekanak belum dimulai. Jadi, ia masih memiki waktu untuk berisitirahat selama satu minggu sebelum akhirnya bekerja kembali hingga pembangunan itu selesai.

Seorang arsitektur ternama di kota Palembang, memang seperti itu.

Langkahnya menapaki lantai menuju dapur, namun Farel berhenti ketika melihat kakak laki-lakinya tengah duduk bercengkrama berdua dengan istirnya di dekat taman samping.

Farel tidak mempedulikannya, ia lebih memilih untuk mengambil air putih pada dispenser dan meneguknya hingga habis.

"Eh, perjaka. Jam segini baru bangun." Teguran itu datang dari mulut Feno yang entah kapan datangnya, tiba-tiba saja sudah ada di sampingnya ikut mengantri mengambil minum pada dispenser, kakak ketiganya yang sebentar lagi akan menjadi bapak orang itu memang mulutnya yang paling tidak bisa dijaga.

"Apaan sih," balas Farel sungkan.

Feno tertawa kecil, lantas mencuil perut Farel. "Nggak malu, perut sudah mulai buncit tapi belum juga buncitin perut anak orang." Farel melirik sinis, jelas ia bukan anak kemarin sore yang tidak mengerti maksud dibalik ucapan kakakanya itu.

Ia membalas tanpa menoleh. "Kalau mau aku cepat nikah, ya makanya restuin hubungan aku sama Brenda. Nikah sekarang pun jadi, kalau kalian semua pada ngerestuin."

Feno mendadak bungkam tidak seharusnya ia membicarakan pasal begituan kepada Farel, jelas sekali alasan Farel belum menikah hingga detik ini adalah restu yang belum ia dapatkan dari mereka satu keluarga.

Melihat Reno yang mendadak diam tak bersuara, Farel memilih untuk beranjak menaruh gelas yang ia pakai tadi ke tempat cucian piring.

Farel kemudian lebih memilih untuk kembali ke dalam kamarnya dan mengurung diri di balkon kamar menikmati hari Selasa yang terasa begitu panjang dengan berpikir dengan apa yang terjadi semalam pasal hubungannya dan Brenda.

-Fall-

"Aku sudah berusaha Frella, kamu tahu sendiri aku bahkan sudah mati-matian memperjuangkan kamu di depan orang tuaku. Kamu tahu itu, tapi apa yang aku dapatkan. Mereka malah semakin gencar menjodohkan aku dengan pilihannya dan puncaknya kemarin, aku tak sanggup lagi menolak saat ayahku tiba-tiba terkena stroke ringan. Aku mundur untuk memperjuangkan hubungan kita dan aku lebih memilih untuk menikah dengan pilihan mereka saja."

"Lalu aku? Aku mau kamu apakan? Kamu tinggalkan, begitu?" Frella berteriak histeris di depan pacarnya tersebut, tangannya bergerak memukul-mukul dada Fahri berharap bahwa apa yang dikatakan laki-laki itu hanya sekedar bualan semata. Namun sayangnya Fahri tak kunjung berbicara lagi dan Frella tahu bahwa ucapan tersebut tidak main-main.

"FAHRI!"

"FAH-" Frella mengerjapkan matanya, menatap ke sekitar dan baru menyadari bahwa ia tertidur di ruangan kerjanya.

Ia lalu melirik jam pada dinding dan menghela nafas dalam, saat tahu bahwa sekarang adalah jam makan siang.

Perutnya mendadak keroncongan, teringat bahwa sejak semalam ia tidak bernafsu makan akibat memikirkan nasib Brandon, adiknya.

Setelah menimang-nimang, akhirnya Frella memutuskan untuk pergi ke cafe sebrang saja untuk membeli makanan dan juga kopi. Agar ia tidak mengantuk, karena setelah ini jadwal kunjungan pasiennya cukup padat.

Frella melangkah dengan balutan snelli berwarna putihnya yang masih saja menempel di tubuhnya dengan dalaman sebuah kemeja berwarna biru muda. Ia menengok ke kanan, tangannya ia taruh di samping untuk membantunya menyebrang. Setelah melihat keadaan jalanan cukup lenggang, Frella melangkah sampai ia berhenti di tengah, ia menoleh ke kiri. Kini mencoba menyebrang untuk sampai ke café seberang.

Dari sebrang bahkan bau kopi dari dalam café sudah menyerbak keluar dan memancing Frella untuk cepat-cepat sampai dan memesan sebuah kopi untuknya. Dengan langkah lebar, Frella mencoba menyebrangi jalanan kembali.

Cyit!

Bunyi decitan nyaring rem dan aspal beradu, Frella memejamkan matanya berharap mobil yang tiba-tiba ngebut di jalan tersebut tidak menabrak tubuhnya.

Ya Tuhan, belum juga nikah. Tubuh Frella bahkan sudah terduduk di aspal jalan, matanya memejam.

Sosok pegemudi mobil mewah berwarna hitam tersebut keluar dengan penampilannya yang senada mewahnya dengan mobil. Ia berlarian kecil menuju Frella dan menjulurkan tangannya.

Frella membeku, menatap tangan yang terulur tersebut. Ia tidak menyambutnya, Frella malah berusaha untuk berdiri sendiri. Sosok itu tetap kukuh berusaha membantu kembali dengan menahan tubuh Frella, sampai ahirnya Frella kembali bisa berdiri dengan sempurna.

Mata Frella menoleh menatap sosok tersebut, laki-laki.

Laki-laki tersenyum kecut lantas menatap Frella, "Kamu nggak apa-apa?" Tanyanya.

Frella menarik nafas dalam sembari mengangguk kecil samar-samar ikut tersenyum canggung mengiyakan bahwa ia tidak apa-apa.

Laki-laki tersebut menarik napas legah lantas bertanya kembali. "Perlu ke rumah sakit, saya antar ya."

Frella menggeleng cepat, akhirnya memilih buka suara juga. "Nggak perlu kok. Saya nggak apa-apa, tadi itu emang saya yang teledor lari-larian pas nyebrang. Kamu nggak salah, saya yang minta maaf sudah bikin kamu cemas." Frella tersenyum kembali lantas memilih untuk beranjak pergi.

"Saya duluan ya."

Laki-laki tersebut hanya diam dan tidak membalas, Frella sudah duluan pergi dan masuk ke dalam café. Diam-diam, Frella menoleh sebentar ke arah laki-laki tersebut seperti merasa familiar dengan wajah tersebut tapi setelah diingat-ingat, mungkin hanya halusinasinya saja. Jadi, ia lebih memilih untuk mengabaikan dan mulai mengantri untuk membeli kopi.

"Sudahlah, mungkin cuma pernah lihat di Rumah Sakit."

Bersambung

Salam, Bellazmr😊

FallWhere stories live. Discover now