4. Hidup Harus Tetap Berlanjut

90.2K 6.5K 103
                                    

Bagian Empat

Farel memandang keluar jendela dengan pandangan kosong, tangan kanannya terus mengaduk minuman yang ia pesan. Helaan nafas berat keluar dari bibirnya.

Siang itu, setelah ia bangun tidur. Farel tidak bernafsu untuk berlama-lama di dalam kamarnya sejak Feno menganggunya dengan suara berisiknya dari luar kamar, bergombal ria dengan istrinya.

Feno memang seperti itu, di antara ketiga kakaknya. Feno, Fatir, dan Fabian memang Fenolah yang paling usil. Dari jaman mereka kecil pun, Feno adalah kakaknya yang paling hobi mengerjainya. Bahkan Farel ingat betul dulu pernah jaman SD kakak yang lahir tepat 2 tahun di atasnya itu menganti seluruh isi tas Farel yang semulanya berisi buku-buku tulis menjadi 2 tumpuk batu bata. Dan itu sukses membuat Farel menangis minta dibawakan buku-bukunya kepada mamanya.

Sudah dewasa pun sifat kekanak-kanakan Feno masih saja ada, buktinya sekarang.

"Kenapa sih kakaknya itu tidak menghabiskan liburannya di rumah saja, tidak usah ke rumah orang tuanya dan memanas-manasinya dengan ceranah mengenai faedah dari menikah," rutuk Farel di dalam hati. Bahkan Farel jadi ingat beberapa kalimat Feno di rumah tadi.

"Enak dik, kalau pulang ke rumah ada yang nungguin."

"Nggak perlu guling lagi, bini juga bisa jadi guling kok."

Atau yang lebih parah. "Nikah deh, biar ada tempat bercocok tanam."

Sakit jiwa kakak satunya itu, maka dari itu daripada kepala Farel pecah mendengarkan kalimat-kalimat tidak berbobot kakaknya, Farel lebih memilih untuk pergi saja dibanding di rumah. Bisa terbakar otak Farel mendengarkan kakaknya itu.

Menghembuskan napasnya kasar, Farel menolehkan kepalanya menuju isi dalam café. Lantas pandangannya tidak sengaja menatap seorang gadis yang baru saja mengeluarkan uang untuk membayar pesanannya.

Mata Farel membelak kaget,tentu saja. "Brenda!" ia memekik memanggil.

Gadis berambut kecokelatan sebahu tersebut menoleh, lantas ikut membelak saat melihat Farel tengah berdiri di depan tempat duduk yang berada di dalam cafe.

Brenda langsung bergegas pergi melangkah keluar café setelah mengambil kembalian dari kasir.

"Brenda!" Farel tidak tinggal di tempat, ia langsung bergegas menyusul Brenda yang sudah duluan keluar café. Farel tidak menyerah, ia mengejar Brenda. Tangannya terulur untuk membuka pintu sesaat sebelum.

"Au!" Pekikan seseorang terdengar memekak di telinga Farel.

Kepala gadis yang berada di hadapannya itu membentur tepat di dadanya ketika mereka bertabrakan di pintu masuk cafe

Tabrakan tidak disengaja itu langsung membuat tubuh gadis tersebut limbung terjatuh di lantai keramik depan cafe.

Farel memandangnya kesal, lantas berusaha mengabaikan gadis tersebut. Ia bergegas cepat meninggalkan gadis itu untuk mengejar Brenda yang malah sudah masuk mobil dan melajukan mobilnya kencang membelah kepadatan di kota Palembang.

Pandangan Farel kembali menoleh ke sosok gadis yang tadi membuatnya gagal menangkap Brenda. Tetap saja gadis itu masih berada di depan pintu dan sedang berusaha berdiri. Farel menghampirinya, segera mulutnya mengumpat kasar.

"Gara-gara kamu menabrak tadi, saya jadi tidak bisa mengejar pacar saya. Gadis itu mendongkak, seragam putih khas dokternya membuat Farel dapat dengan menebak bahwa gadis tersebut adalah dokter. Kesal, gadis itu mecoba berpegangan di pintu untuk berdiri lantas setelah bisa berdiri ia memandang Farel sengit.

"Kamu itu nggak pernah diajarin sopan santun ya? Kamu yang salah, malah nyalahin saya."

Farel balas memandangnya lebih sengit, ia mendengus kasar. "Siapa suruh kamu buka pintu pas saya buka pintu?" ungkapnya.

FallWhere stories live. Discover now