12. Hancur

80.8K 5.9K 207
                                    

Bagian Dua Belas

Dering telepon dari atas nakas membuat Farel bergetak malas meraba-raba nakas mencoba mengambil handphonenya, setelah menemukannya masih dengan mata yang memejam. Farel mengangkat panggilan itu tanpa terlebih dahulu melihat nama penelpon.

"Halo," suara Farel terdengar berat khas orang yang baru saja bangun tidur saat menyambut panggilan telepon itu.

"Farel," balas suara di seberang terdengar pelan. Sontak saja membuat mata Farel langsung terbuka lebar dan ia segera mengubah posisinya menjadi duduk.

Farel menarik napas dalam dan langsung menyerbu pertanyaan seseorang yang berada di seberang.

"Brenda, ini Brenda kan?" Farel menjauhkan sejenak handphonenya untuk melihat nama yang tertera di layar. Nomor tidak dikenal, tapi jelas ia kenal sekali bahwa ini suara Brenda.

Di ujung sana tampak seorang gadis tengah menarik napas dalam. "Iya, ini Brenda."

Farel tersenyum haru dengan balasan yang dikatakan oleh Brenda. "Sudah lama banget aku nggak dengar suara kamu, apa kamu tahu kalau rasanya aku seperti gila menunggu kamu mau bicara dengan aku lagi. Aku kangen kamu," ungkap Farel mendalam.

Brenda tersenyum tipis, ia lantas tidak mau membahas lebih banyak apa yang dikatakan Farel tadi. "Bisa kita ketemu jam makan siang ini di Rumah Makan Palembang, ada yang mau aku bicarakan sama kamu. Ini penting sekali," alih Brenda.

"Apa?" tanya Farel dengan alis yang bertautan tampak bingung. Brenda tampak menghela napas, "Kita bicarakan saja semuanya nanti," balas Brenda. Keduanya diam beberapa saat sebelum Brenda berbicara lagi. "Kamu datangkan?"

Farel menangkat senyumnya girang. "Tentu, aku pasti datang. Kita bisa bicara mengenai hubungan kita lagi, kamu mungkin kemarin sedang emosi sesaat saja. Pasti sayang, pasti aku pasti datang," sahutnya cepat.

"Ehm ... Oke. Sudah dulu ya Rel, bye! Aku tunggu kedatangan kamu." Senyum Farel belum saja lepas sejak Brenda memutus panggilan keduanya, ia perlahan melirik ke arah jam yang berada di dinding kamarnya. Sudah hampir menunjukkan pukul setengah delapan. Merengangkan ototnya, Farel beranjak dari atas tempat tidur menuju kamar mandi. Senyumnya masih saja belum pudar, mungkin seharian ini Farel akan tersenyum terus terlebih sepertinya yang ingin dibicarakan Brenda adalah bahwa Brenda akan memperjuangkan kembali hubungan mereka berdua. Pasti, itu pasti.

-Fall-

Frella cukup bersemangat pagi itu, ia menyetir menuju rumah Fenita mengingat semalam Fenita memintanya untuk datang ke rumahnya bertepatan sekali dengan hari ini ia mendapat shift malam jadi pagi hari ia menyempatkan berkunjung ke rumah Fenita.

Beberapa kali ia menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri saat melewati jalan Demang, perumahan mewah menyambut matanya saat itu. Ia bahkan menahan dirinya untuk tidak berdecak kagum saat melihat sebuah rumah yang mirip istana. Ya, memiliki rumah mewah seperti yang ia lihat adalah impian Frella. Ia sekaran dalam proses mengumpulkan uang untuk membangun rumah impiannya sendiri untuk orang tuanya.

Ibu dan ayahnya bukan berasal dari keluarga kaya, hanya keluarga sederhana. Ibunya adalah pensiunan pns guru sekolah dasar sedangkan ayahnya pensiunan perusahaan, untung saja ia berhasil menamatkan kuliah kedokterannya dan berhasil masuk kerja menjadi dokter di rumah sakit terkenal di Palembang. Memang diawal Frella lulus kuliah kedoteran, ia sempat ragu mengingat biaya kuliah kedokteran yang mahal. Namun ayah dan ibunya selalu memberikan semangat untuknya agar memikirkan kuliah saja, biar biaya itu masalah orang tua.

Frella benar-benar terharu dengan impian nekat kedua orang tuanya dan dirinya, sampai baru beberapa bulan kuliah ia mendapat beasiswa penuh sampai ia tamat dari tempat kuliahnya. Jika saja ia menerima, universitas tempatnya kuliah sudah menawarkan posisi dosen untuknya jika sudah tamat kuliah namun Frella menolak, ia lebih suka mendedikasikan ilmunya untuk orang banyak. Untuk itulah Frella lebih memilih bekerja sebagai dokter di rumah sakit. Sebenarnya ia baru sekitar dua tahun bekerja sebagai dokter. Umurnya sekarang menginjak angka dua puluh empat, usia yang matang untuk menikah kata tante-tantenya.

FallWhere stories live. Discover now