11. Kesedihan tak Berujung

77K 5.1K 148
                                    

Bagian Sebelas

Laki-laki itu mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang sambil terus mendengarkan mamanya yang terus-terusan mengajaknya mengobrol. Ia menanggapinya meskipun tanpa menoleh.

"Mama nggak menyangka bisa ketemu sama dia lagi," ungkap Fenita. Kedua tangannya ditaruh di depan dada dengan mata menerawang ke depan, senyum Fenita tidak kunjung lepas dari bibirnya. Feno melirik ke arah mamanya, ia ikut tersenyum. "Mungkin memang sudah takdir, syukurlah sekarang mama sudah punya dokter pribadi baru yang bisa kapan saja datang ketika mama membutuhkan. Beberapa waktu itu saat Dokter Yuna mengundurkan diri untuk melanjutkan pendidikan," balas Feno.

Fenita mengangguk setuju. "Senang sekali, ditambah Frella ini orangnya baik. Jelas mama nggak salah pilih dokter untuk gantiin Dokter Yuna," ucap Fenita.

Feno tertawa pelan. "Iya Ma, kelihatannya baik. Kalau nggak ingat Jelita lagi hamil enam bulan, Feno gebet tuh dokter. Kan dia bilang tadi kalau dia belum menikah," kekehnya. Fenita menepuk bahu Feno. "Kamu ini, kalau ngomong suka sembarangan."

"Lah Ma, kan Feno bilang kalau nggak ingat sayangnya Feno ingat terus sama Jelita," bela Feno. Fenita menggeleng dengan tingkah laku anak ketiganya itu, memang dulu jaman ia mengandung keempat anaknya. Fenolah yang saat mengandung mengidamnya jadi aneh, mulai dari kelapa muda. Memang terlihat mudah hanya sebuah kelapa muda, tapi ia menginginkan kelapa mudanya asli diambil dari pohon tetapi mengambilnya tidak boleh dengan dipanjat. Ya Seperti itulah.

"Ma," panggil Feno tiba-tiba. Fenita menoleh. "Kenapa?"

Feno menarik napas dalam. "Feno mau ngomong daritadi tapi baru ingat sekarang, Ma entah kenapa Frella itu kelihatan familiar sekali. Feno seperti pernah ketemu dan kenal."

"Nah itu dia, mama juga ngerasain itu tapi entahlah mama nggak bisa ingat," balas Fenita. Feno mengangguk pelan. "Yah mungkin Palembang sempit kali Ma, kita mungkin pernah ketemu sama dia makanya familiar," balas Feno. Kali ini Fenita setuju dengan apa yang dikatakan oleh anak laki-lakinya itu yang sebentar lagi akan menjadi seorang ayah.

-Fall-

Farel memandang ke arah gelas berukuran kecil yang berada di hadapannya, kepalanya ia telungkupkan di kedua tangannya yang terlipat di atas meja. Suara dentuman musik yang begitu keras, tawa ceikikan orang yang berada di sekitarnya bahkan bau minuman yang begitu pekat tidak membuatnya menginginkan ketentraman rumahnya. Ia lebih suka berada di sini, melepas semua penat yang berada di pikiran dan batinnya.

"Aku ingin melupakan fakta bahwa kita tidak bersama lagi, tapi rasanya itu begitu sulit," gumam Farel. Ia lantas meneguk kembali minuman berwarna putih yang berada dalam gelas kecil yang sedari tadi ia pandangi. Rasanya yang begitu pekat membuat Farel merasakan sensasi aneh saat meneguknya. Isi dalam gelas itu telah habis. Kembali, Farel menyodorkan gelas minumannya kepada bartender.

"Rel, malam ini lo sudah minum dua gelas dan sekarang mau minta tambah lagi?" Danil bartender Bar tempat Farel menghabiskan malam itu menolak untuk menambah minuman pada gelas Farel. Mendengar itu membuat Farel mendongkak, ia menghela napas berat. "Gue baru akan mabuk kalau minum lima gelas, ini baru gelas ketiga. Tambah aja Nil, gue nggak apa," balas Farel.

Danil mengeleng. "Kalau lo mabuk gimana, malas ah entar kalau gue hubungi Leon. Panjang ngoceh tuh anak," sambar Danil.

Farel tertawa pelan. "Gue jamin, gue nggak akan mabuk teler sampai buat lo menghubungi Leon. Gue bisa pulang sendiri nanti, please ini gelas terakhir gue. Setelah ini gue bakal pulang." Danil membuang napas pelan, namun akhirnya ia menuruti permintaan Farel. Ia menuangkan kembali minuman alkohol ke dalam gelas. "Jangan mabuk, awas aja. Gue mau layanin yang di sana dulu." Danil pergi meninggalkan Farel.

FallTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang