9. Melupakan Dirinya

78.7K 6.2K 53
                                    

Bagian Sembilan

Seminggu telah berlalu, Frella telah kembali bertugas sebagai dokter. Meskipun begitu, tugasnya dikurangi mengingat ia masih belum sembuh total terlebih pada bagian punggungnya yang sering kali terasa sakit jika terlalu lama beraktivitas. Seperti saat ini ketika jam sudah hampir menunjukkan pukul empat sore, Frella sudah bersiap akan pulang padahal biasanya ia baru akan pulang sekitar pukul delapan malam.

Setelah menutup gorden pada ruangannya, Frella melangkah menuju meja yang berada di sudut ruangan di dekat ranjang tertutup sekat putih. Lantas Frella melepas jas putih dokternya dan menyampirkannnya pada tas berwarna merah muda serasi dengan kemeja berlengan pendek yang ia kenakan.

Frella menarik napas dalam, sejenak melirik ke arah jam yang berada di pergelangan tangannya.

Pukul empat lewat sepuluh menit, ia baru keluar dari ruangannya itu.

Ia berjalan melewati lorong rumah sakit, beberapa kali Frella berpapasan dengan perawat dan dokter. Ia menyempatkan diri untuk menyapa. Bahkan Frella sampai berhenti melangkah dan mengobrol dengan salah satu dokter yang tengah membawa papan dengan beberapa kertas di atasnya.

"Sibuk sekali ya," kata Frella. Dokter itu adalah Mulyawan, dokter senior di rumah sakit.

"Iya nih Frel, ada pasien yang penyakitnya sulit sekali untuk dideteksi. Bolak-balik laboraturium buat mencari tahu penyakit apa, tetap saja hasilnya nihil padahal sudah tiga hari," balas Mulyawan dengan raut wajah terlihat lelah.

Frella tersenyum tipis lantas tangannya menepuk pundak Mulyawan. "Pasti nanti ketahuan kok Dok, ngomong-ngomong hari ini lembur ya?" tanyanya.

Mulyawan mengangguk. "Iya, padahal si kecil ingin banget makan di luar bertiga sama mamanya juga tapi yah namanya tugas dokter mana bisa dicancel."

Frella tertawa pelan. "Iya yah, pasti si kecil lagi ingin-inginnya banget jalan sama mama papanya. Sekarang, sudah hampir tiga tahun ya?"

Mulyawan mengangguk lagi tampak antudias. "Iya tiga tahun, tapi sudah rewel banget ingin ikut sekolah gitu. Mungkin tahun depan masuk umurnya empat tahun baru aku daftarin buat sekolah paud."

"Wah, jadi kangen ketemu si Kecil. Kapan-kapan bolehlah ajak ke rumah sakit," ungkap Frella.

Mulyawan terbahak. "Iya kapan-kapan deh, sekalian ajak istri buat periksa kandungan. Syukur, sudah jalan tiga bulan."

Frella berseri mendengarnya. "Uh, rupanya si Kecil bentar lagi punya adek. Aku jadi ikut senang Dok." Mulyawan menyimpulkan senyum hangat atas apa yang dikatakan Frella. Walaupun junior, ia cukup dekat dengan adik tingkat kuliah kedokterannya dan akhirnya juga menjadi juniornya di rumah sakit .

"Jadi kapan nih ceritanya kamu kasih undangan ke aku dan sekeluarga, rasa-rasanya nggak mungkin dokter secantik Frella belum ada rencana buat menikah." Frella tersenyum tipis mendengarnya.

"Doakan saja secepatnya Dok, aku inginnya juga cepat tapi yah jodoh nggak datang secepat yang aku mau. Tapi kalau memang datang, pastilah aku undang Dokter Mulyawan sekeluarga buat hadir," ungkap Frella. Mulyawan tersenyum mengangguk.

"Pasti aku doakan Frella," balas Mulyawan.

Mulyawan melirik pada jam yang berada di pergelangan tangannya. "Kayaknya aku musti buru-buru ini ke laboraturim, kamu mau pulang ya? Hati-hati di jalan Frel."

Frella mengangguk. "Iya Dok pasti," jawabnya.

"Aku duluan ya, sampai jumpa Frel."

"Iya Dok."

Tepat saat Mulyawan melangkah pergi dan Frella berbalik meneruskan langkahnya, tubuhnya bertabrakan dengan seseorang membuatnya hampir saja kehilangan keseimbangan apabila sosok yang menabraknya itu tidak menahan bahunya.

FallWhere stories live. Discover now