6. Namanya Friendzone

192K 14.6K 1.4K
                                    

Bagian Enam

"Main itu di Timezone, bukan di friendzone. Kalau friendzone mainnya bukan sama mesin bermain, tapi sama perasaan."

Bunyi pancuran yang berada di ujung kolam renang adalah suara yang menemani keheningan malam, suasana remang-remang di pinggiran kolam renang akibat kurangnya cahaya lampu membuat Frans lagaknya agak pendiam malam ini. Meskipun tampaknya antara remang-remang dan diamnya Frans tidak ada hubungannya. Oke tidak masalah, intinya Frans pendiam malam ini

Frans duduk di tepian kolam renang rumahnya sambil mencelupkan setengah kakinya ke air kolam. Sesekali Frans memainkan kakinya dengan menggerakannya ke depan dan ke belakang.

Tangan Frans terus memutar-mutar barang favoritnya selain gantungan kunci motor Upin-Ipin, yaitu replika mini tokoh Mei-Mei.

Tidak-tidak, ia bukan memfavoritkan replika mini ini karena replika mini ini adalah Mei-Mei. Tidak bukan karena itu!

Frans ingin membela diri, sebelum banyak orang berpikiran yang bukan-bukan.

Andai saja saat membeli waktu itu ada pilihan selain Mei-Mei dan Rambo, ayamnya Atok Dalang. Pastilah Frans akan memilih pilihan lain itu, tapi berhubung tidak ada. Jadi ia memilih replika mini Mei-Mei ini, koleksi pertama replika mininya sekaligus awal kegemarannya mengoleksi replika mini.

Oh ya satu lagi, alasan mengapa Frans memfavoritkan replika mini Mei-Mei ini. Karena replika ini dibelinya langsung di Malaysia, SMP kelas satu saat liburan di sana. Belinya langsung di bazaar stasiun televisi yang menyiarkan Upin-Ipin, bahkan Frans masih ingat betul badut Mei-Mei yang memberikannya ke Frans waktu itu.

"Terime kase lah," kata badut itu.

Begitu suaranya.

Empat tahun sejak itu, Frans mulai rajin mengoleksi replika mini. Walaupun kebanyakan belinya di Indonesia saja.

Frans menghela napas sembari terus memutar-mutar replika mini tersebut, entahlah malam ini ia tidak tahu mengapa mellow sendiri. Setelah makan malam dengan ayah dan bunda, Frans memilih duduk menyendiri di kolam renang.

"Tumben diem aja, kayak handphone dalam mode silent." Suara itu membuat Frans menoleh. ia melihat ayahnya yang ikut duduk di pinggir kolam di sampingnya, Farel juga mencelupkan setengah kakinya ke dalam kolam.

"Lagi galau?" tanya Farel lagi.

Frans menghembuskan napas kasar lalu berkata. "Apaan sih Yah."

"Ya kamu, dari pulang sekolah tadi diam mulu. Kenapa kamu, sakit? Tengorokan kering, sariawan, atau bibir pecah-pecah?" Lontar Farel dengan cengirannya.

Frans mendesah pelan "Nggak ada apa-apa."

"Ya elah, sok pendiam gini jadi aneh. Taunya ayah kan, anak ayah itu Frans yang pecicilan, banyak gaya, songong, ngomong terus, dan sotoy," ucap Farel.

Frans melirik ke arah Farel dengan ekor matanya. "Jangan nyebutin ciri-ciri ayah sendiri, tapi pakai nama Frans sebagai alibi."

Farel terbahak, tangannya terulur mengusap kepala Farel. "Jadi ada apa?"

Farel diam, lalu kembali menghela napas. "Yah."

"Hmm ..."

"Kapan pertama kali ayah suka sama cewek."

Seharusnya, Farel membelak dengan pertanyaan Frans atau paling tidak menangapinya dengan hal yang lebih lumrah daripada bersorak tidak jelas seperti mendapat doorprice. "DEMI APA, ANAK AYAH NAKSIR CEWEK?"

"Hah? Kok ...."

"Akhirnya, Ayah sempat mikir hormon kamu nggak berkembang gara-gara nggak pernah ngomongi cewek apalagi bahas cinta beginian," ungkap Farel.

Flesh OutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang