14. Maunya Begitu

159K 14.4K 904
                                    

Bagian Empat Belas

Jangan datang kalau ujungnya meninggalkan.

Jangan kembali kalau ujungnya tak bisa berjanji untuk tetap bertahan.

Semua bersorak dengan penampilan yang baru saja ditampilkan oleh Band Angkatan kelas 10 pada festival musik yang rutin diselenggarakan setiap tahun. Sedari tadi sepanjang nyanyian, Frans dan Ateng berdiri paling depan sekali untuk menonton. Keduanya tampak paling heboh, semua tidak ada yang mengomentari mereka bahkan berbondong-bodong banyak yang memuji ya -ketampanan mereka.

Dari kelas sepuluh sampai kelas dua belas bahkan guru-guru, semuanya hampir mengenal Frans dan Ateng sebagai dua sejoli di sekolah yang sifatnya itu kayak anak kembar tapi untuk urusan ngeyel sama guru kayaknya Frans unggul lebih jauh dari Ateng.

Kalau dipikir-pikir sudah puluhan kali mereka berdua dipisahkan tempat duduknya oleh berbagai guru bidang studi, tapi sepertinya sebanyak dipisah maka sebanyak itupula mereka akan bersatu lagi untuk menjadi partner semeja. Dan alhasil guru menyerah dengan keduanya. Terlebih mengingat orang tua Ateng yang merupakan donatur terbesar di sekolah. Walaupun dari tampang Ateng percis kayak cowok kere yang kemana-mana maunya minta traktir.

"Teng, gue haus," kata Frans.

"Hah ?! Apa Frans?!" Ateng tidak mendengar karena band yang saat ini tampil menampilkan musik yang benar-benar melumpuhkan pendengaran lain selain musik mereka.

"GUE HAUS. HA-US HA-US." Frans berteriak di telinga Ateng.

Ateng menyengir paham. "Titip minuman satu, bayarnya pakek duit lo dulu. Gue bayarnya kapan-kapan," katanya menyengir.

Frans menghela napas. Dasar suntoloyo, katanya anak orang kaya beli minum aja nggak mampu. "Iya."

Ateng tersenyum lebar sembari mengacungkan jempolnya lalu ketika Frans mulai beranjak pergi keluar dari kerumunan orang. Ateng kembali menatap ke arah panggung dan berjoget lompat-lompat sendirian. Bodo amat deh Dera hari ini belum ngabarin masih idup atau dah koit, penting joget dulu!

Langkah Frans menapaki koridor sekolah yang lumayan sepi karena kebanyakan orang berada di lapangan. Mata Frans menatap ke depan dan ketika tiba-tiba Andini melitas ke arahnya sambil membawa kardus. Frans menyapanya. "Din."

Andini menoleh, sempat kaget melihat Frans lalu detik selanjutnya ia tersenyum. "Eh Frans."

"Berat?" tanya Frans.

Andini menghela napas. "Enteng kok, Beratnya cuma satu ons."

"Beneran? Kok kelihatannya berat?" Tanya Frans dengan alis berkerut

"Ya elah Frans udah tahu ini berat masih nanya lagi," dengus Andini.

Frans tertawa geli lalu segera mengambil alih kardus yang dibawa oleh Andini. "Mau ditaruh dimana?" tanya Frans. "Gue bantu bawa."

Andini tersenyum lebar. "Tau aja deh lo, ke sana Frans."

"Oke. Tapi udahnya bayar ya?"

"Duit gue tapi ada di dalam tas, tasnya di ruang osis," balas Andini.

Frans tertawa lagi. "Bayarannya lo senyum aja ke gue." Andini menghentikan langkahnya, mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya kembali seperti biasa. Ia memukuli bahu Frans kesal dengan ledekan Frans barusan.

Sepanjang mereka melangkah, maka sebanyak itu pula orang-orang melihat mereka. Kebanyakan sih adik kelas yang ngefans sama Frans, mereka gigit jari melihat betapa dekatnya Frans dengan senior Osis yang namanya saja hanya ada beberapa yang tahu. Frans bersikap tak acuh sedangkan Andini berulang kali mengatakan kepada Frans jika banyak yang melihati mereka.

Flesh OutWhere stories live. Discover now