-III-

12.4K 547 50
                                    

Disclaimer by Asagiri Kafka and Harukawa Sango

Ketika aku bangun, yang kudapati hanya suara lembut jam dinding yang berdetik. Selimut hangat yang membalut tidak sampai pada paru-paru yang tertekan akibat dinginnya udara musim semi. Aku bisa merasakan detak jantungku, namun begitu berat. Sesak. Walau rasa sakit itu sudah dari dulu kutanggung.

Tidak ada siapapun di sana. Pria itu sudah pergi. Dia selalu pergi setiap hari kerja dari pagi hingga malam. Pelayan akan datang untuk membereskan rumah, dan aku tidak boleh keluar dari ruangan bawah tanah. Tapi kali ini aku berada di kamarnya, kamar dengan jendela besar yang membawaku pada dunia. Sesuatu yang tidak pernah lagi tampil di mataku. Pemandangan musim semi.

Ketika selimut itu lepas, tidak ada yang melindungi kulitku dari dinginnya udara pagi musim semi selain perban-perban yang baru diganti. Tapi itu tidak cukup membuatku hengkang dari duduk di balkon untuk memandangi langit biru yang tidak pernah kulihat sejak jatuh ke dunia kelabu. Sedikit, hanya sedikit saja, dunia indah ini memberi kehangatan yang menjalar di dada. Pesona sesaat bagi mereka yang berada dalam takdir buaian dunia. Bukan untukku. Keindahan ini hanya wujud dari kesengsaraan yang ditimpa padaku.

Kulihat jam dinding, masih ada 10 jam sebelum dia pulang. Di hari biasanya, dia akan memanggilku menemaninya makan sebelum pergi, lalu mengurungku sampai ia kembali. Pelayan selalu mengantar makan siang ke ruanganku seperti narapidana dalam penjara khusus. Kemudian ketika kembali, ia akan memerintahkanku lagi menemaninya makan malam. Tapi kali ini berbeda. Dia tidak membangunkanku, tidak menyuruhku kembali ke sel itu. Aku dibiarkan tidur tenggelam di kasur empuknya, di dalam selimut tebalnya, di kamar mewahnya. Aku tidak mengerti. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan selain menunggunya pulang dan bertanya.

Tidak dapat dipungkiri beban yang masih melanda tubuhku, kepalaku pusing, pandangan berkabut, sendi gemetar, rasanya ingin pingsan. Padahal aku sudah tidur lebih dari enam jam, di kasur yang begitu empuk dan hangat, merasakan hangatnya cahaya matahari dan segarnya angin musim semi. Tapi aku tidak menyadari kalau tubuhku rusak seburuk ini.

Aku melangkah ke tempat tidur, ingin kembali masuk ke kehangatan itu, namun ragu. Tentu saja aku tidak bisa berada di atas lagi karena benda itu bukanlah hakku. Yang merebahkanku di sana adalah Dazai Osamu, kemudian aku beranjak dan kehilangan hak untuk kembali. Mainan tidak bisa bertindak sesuai kehendaknya, hanya perintah dari orang itu yang membuatku boleh melakukan sesuatu. Kapan dia kembali?

Rasanya kepala ini akan jatuh kapanpun aku lengah. Akhirnya yang aku lakukan hanya duduk dan bersandar di salah satu kaki tempat tidur. Menekuk tubuh seperti buku yang tidak ingin dibaca oleh siapapun. Kusandarkan kepala di lutut. Menyebarkan semua sakit itu ke tubuhku sendiri. Termakan kantuk, aku tertidur.

Lonceng jam berdentang, aku terbangun. Ah, sudah berapa lama? Tiga jam. Masih banyak waktu sebelum dia kembali dan aku tidak tau mau melakukan apa selain duduk tenang dan tidak memancing rasa perih yang merambat di seluruh saraf. Lemah, rapuh, mungkin hampir pada batasku. Bagaimana rasanya jika aku mengucapkan hal itu pada seseorang?

"Aku lelah."

Ah, kenapa aku teringat ketika pria itu menidurkanku di pelukannya tadi malam? Aku tau rasa ini, rasa yang tidak pernah menyentuhku sejak hari aku diculik, rasa sepi.

Di masa-masa itu, keseharianku hanya kulakukan di tempat tidur, di dalam jeruji, dan di lantai basah. Tidak di kamar mewah seperti ini. Yang kuratapi hanya kebengisan dunia, ketidak adilan semesta dimana aku jadi korbannya. Menangis? Tidak. Air mata tidak cukup membuat dunia iba. Air mata hanya membuat dunia semakin mencerca, penghinaan, bukti kepengecutan.

Tu m'appartiensWhere stories live. Discover now