-XI-

5.1K 329 43
                                    

Disclaimer by Asagiri Kafka and Harukawa Sango





Ya ampun, aku rindu dia.

Aku rindu bibir pucatnya yang segar. Mata biru berpendar seakan berada di kumpulan awan merah muda.

"Ah..."

Aku tidak pernah mendapat respon, ini pertama kali ia melingkarkan tangan di punggung ketika kujejak leher jenjangnya. Kulitnya langsung memerah setelah dikecap, ia begitu sensitif. Kesukaanku. Kerinduanku.



---

Tidak pernah sebuah rasa hinggap dari setiap sentuhan yang mendarat di tubuhku. Aku menjadi benda mati, tidak peduli apapun yang dilakukan Tuanku, selalu ada desahan sebagai layanan. Namun kali ini sentuhannya benar-benar menggetarkan hingga tulang belakang.

Aku tidak pernah menyadari begitu hangat tangan yang selalu membelai paha itu bahkan setelah bekali-kali kami melakukan seks. Dazai Osamu tidak pernah semenawan ini.

"Hng-"

Lenguh meluncur mulus saat kecupannya menjalar menuju dada. Ia menghisap puncak merah muda, aku memekik. Meremas kemeja hitamnya, tanpa memancing amarah. Desahan terlepas saat tubuhku diangkat antara kaki-kaki kokohnya. Tersangga dan bersandar pada dinding besi kamar mandi yang dingin.

Ia menjeda. Setia dengan napas memburu, demi Tuhan aku sangat menyukai mata itu!

Ini kali pertama aku bersyukur dia menciumku. Aku benar-benar menunggunya mengacak-ngacak rongga mulut. Aku ingin merasakan bagaimana kehangatannya.

"Kau merindukanku?"

Detik ini aku mengakuinya. Aku mengatakannya. Ya, Aku rindu.

Ia tersenyum. Aku tidak tahu dia yang membunuh pengasuhnya bisa membuat senyum seperti itu. Aku bahkan tidak pernah berpikir akan mendapatkan senyum seperti itu sejak jatuh ke dunia ini, sejak dia menjadi pemilikku.

"Chuuya, kau tahu apa yang akan terjadi karena kita berdua saling rindu."

"Apapun untukmu."

Ucapan polos itu menarik senyumnya semakin jauh. Aku sadar telah menginjak ranjau, dan tidak menyesal. Aku siap meledak dalam lanjutannya malam ini.

"Dazai, aku-"



---

Aku tidak bisa menahan gejolak ketika sepasang samudranya menatap seperti itu. Ia menginginkanku. Seorang budak- seorang yang sudah menjadi boneka rusak- menginginkanku. Aku yang bukan lagi manusia. Aku yang jiwanya telah hancur diremuk-redamkan oleh sesuatu yang tidak kuketahui. Makhluk rapuh ini menerimaku. Ia menginginkanku.

Entah sudah berapa waktu yang kuhabiskan hanya untuk mengunci bibirnya tanpa ada sentuhan berarti di bagian tubuh yang sudah membatu. Aku menyukai bagaimana erat dia memeluk ketika kukecap kulit lehernya. Lenguhan yang muncul ketika tangan yang menyampirkan helai jingga ikut membelai telinga.

"Cium aku lagi."

Dia melanggar kodratnya.

Seorang budak dilarang meminta.

Aku menciumnya, lagi.

Memenuhi permintaannya, begitu panas sebelum perpisahan memindahkan kecupanku ke arah telinga.

"Ah! Hnn- ahh....."

Ciuman itu tidak lama. Tanganku mulai nakal membelai kulit paha. Mengencangkan pangkuan dengan menganggkat bokong kencangnya. Aku ingat ia sangat ringan ketika pertama kali kugendong ke atas kitchen set.

Stimulasi membuat aliran darah dari lukanya bertambah deras. Hangat terasa sampai kulit di balik celanaku.

"Kau bisa anemia," bisikku. "Dan kalau kau sakit, aku akan menahan ini lagi."

"Kau seharusnya tidak ahh-" dia menggigit bibir ketika kejantanannya keremas.

"Tidak apa hm?"

"Hhn.. Tidak memikir...kan ah! hh- hal yang b-belum hn.. belum a-ada-"

Aku tidak pernah bosan wajah meringis itu. Mata biru yang bingung karena sakit atau nikmat, pipi bersemu yang menjadi latar. Dia selalu indah, tapi tidak pernah semerangsang ini.

Kejantanannya basah, mengalir di jemari yang kugunakan memijatnya. Kecupan tertahan karena wajahnya sayang untuk dilewatkan. Telingaku tidak akan melepaskan satupun panggilan.

"Da-dazai ahn.."

Ia menelan lenguh ketika dua jariku menembus liang. Menusuk ke dalam dan mempersiapkan untuk benda yang lebih istimewa. Tidak lama aku perlakuan dia dengan lembut, aku suka permainanku yang lama.

"Ahh!"

Dobrakan membuatnya berteriak sebelum kembali mengunci mulut dengan gigitan. Dia sempit. Lebih sempit dari yang bisa kuharapkan dari seorang budak seks yang hanya beristirahat seminggu lebih. Seperti barang baru, dengan luka yang tidak akan pernah hilang menandainya sebagai boneka nafsu.

Tapi bukan itu yang kuinginkan.

"Buka." Dagunya kutarik paksa. Ia membuka mulut, meneteskan saliva yang ingin kutelan.

"Ahh-ha-!"

Kuanikkan tubuhnya agar ia merasakan aku berdenyut di dalam sana, sebelum menjatuhkannya agar menabrak sebuah titik paling intim di tubuh mungilnya.

"Kau ingin ini hh?" jawabannya adalah erangan, ia menjatuhkan pelukan di bahuku. Tidak pantas, namun jujur aku menyukainya. Memacu agar aku semakin giat menggerakkan bokongnya melayani ereksiku.

Ia mencapai puncak terlebih dahulu setelah pelukannya seperti hendak mencekik. Kukecup tengkuknya sebelum melanjutkan. Gerakan itu semakin liar, bahkan dia secara tidak sadar telah ikut memainkan pinggulnya. Mendesah tepat di telinga, membuatku bertambah besar.

Detik ketika aku keluar, tulang punggungnya menegang. Aku ingin menyusuri lekuknya dengan lidah.

Rasa hangat dari precum meluncur keluar ketika kulepas tautan kami. Ia tetap memeluk, tidak bersedia di turunkan. Sungguh dia kehilangan jabatan sebagai budak yang baik atas segala macam tuntutannya kali ini.

"Cium aku."

Aku memeriksa mata birunya. Begitu sendu seakan hujan akan jatuh deras dari sana. Pusarannya bukanlah rasa sedih melainkan takut.

"Cium aku...."

Aku memagut bibir, merasakan sebuah tetes air mengalir di pipinya.

Kurapatkan gendonganku seperti ia merapatkan pelukannya. Ciuman itu menjadi lebih dalam, lidah bermain di sana. Aku membawanya ke tempat tidur. Ia tidak melepas lingkar tangan bahkan setelah kurebahkan. Bahkan setelah tahu ciuman itu bukan apa-apa selain invasi sepihak dariku.


---

Untuk rembulan yang bersinar di balik rimbunan pohon akasia. Kumohon, jangan biarkan aku jatuh cinta pada pria ini.

Aku sangat bahagia ketika sentuhan itu datang kembali. Membawaku ke tempat tidur adalah hadiah, walau darah masih mengalir dari luka-luka, walau hinaku tidak akan bisa hilang hanya dengan kecupan, ia tetap menerimaku.

Tidak akan kubiarkan orang ini direbut, oleh siapapun, oleh apapun. Kumohon rembulan, maafkan aku, hilangkan rasa raguku, hilangkan ingatanku tentang gelap gulita takdir yang menunggu. Kumohon rembulan, malam ini saja,, jadikan dia milikku..

.
.
.
.
.

-tbc-

By : SeaglassNst
September 21th, 2019

Tu m'appartiensWhere stories live. Discover now