-IV-

10.2K 519 109
                                    

Disclaimer by Asagiri Kafka and Harukawa Sango


Dazai Osamu punya kelainan jiwa.

Bukan kepribadian ganda, tidak seburuk itu. Dia bipolar. Tindakannya bergantung pada keadaan emosi. Dia bisa menjadi malaikat hanya karena hal kecil yang menyenangkan hatinya, namun ia juga bisa menjadi wujud dari kematian jika sesuatu mengusik ketenangannya.

Aku sudah menjadi dokter pribadinya sejak dia SMP. Segala yang ia lakukan di saat kondisi terburuknya benar-benar tidak bisa dimaklumkan akal sehat. Berpuluh wanita yang ia undang ke rumah akan keluar, bahkan kehilangan nyawa jika menjadi pelampiasan kemarahannya.

Untuk menghindari hukum, membeli budak menjadi alternatif untuk menyalurkan emosi itu. Budak tidak serapuh wanita-wanita sosialita. Mereka tidak punya nama dan cita-cita. Tidak punya keluarga dan penyesalan. Tidak akan ada yang menangis jika mereka kehilangan nyawa.

Dazai begitu senang ketika aku membawakannya seorang budak. Ia seperti anak kecil yang mendapatkan mainan baru dan akan selalu bermain sampai bosan.

Satu minggu bukan waktu yang lama. Aku tidak mengira budak itu akan masuk ruang ICU secepat ini. Yah, itu lebih baik.

Sebuah kemajuan sebenarnya. Aku tidak mengira Dazai akan menelpon dengan begitu panik dan mengatakan bahwa dia membunuh budak itu. Di kasus sebelumnya, saat ia tidak sengaja menenggelamkan wanita di kolam hingga meregang nyawa, dia tidak mengatakan apa-apa. Mayat itu tidak akan pernah ditemukan jika aku tidak bertanya. Aku ingat jawaban santai yang ia lontarkan sambil menyeruput kopi hitamnya,

"Sepertinya dia mati di kolam."

Tapi sekarang, aku benar-benar terkejut melihat wajahnya yang putus asa itu.

"Yosano-sensei! Dia— dia mati?!!"

"Dia hidup, walau detak jantungnya lemah sekali," jawabku. "Aku sudah bilang kau harus biarkan dia istirahat dulu. Apa yang kalian lakukan semalam?"

"Sex." dia menundukkan muka, merasa bersalah. Ya ampun.. Yang benar saja?

"Lalu, kenapa dia bisa berdarah?"

"Aku menghantamnya dan dia terbentur tiang besi tempat tidur. Lalu, aku mencekiknya."

Suara Dazai semakin menghilang di tiap katanya. Benar-benar mengherankan. Aku tidak pernah melihat sebuah penyesalan yang begitu dalam, tidak dari seorang Dazai Osamu.

"Aku akan bawa dia ke klinikku." Wajah Dazai jelas sekali menyatakan ia tidak terima. "Aku akan pasang infus, alat pernapasan, dan menjauhkan dia darimu untuk sementara waktu."

"Tapi—"

"Kau mau dia sembuh kan?"

Dazai tidak menjawab. Tapi raut wajahnya terbaca. Ia tidak ingin budak itu jauh darinya. Tapi anak kecil juga tidak ingin mainan berharganya rusak. Akhirnya ia menyerah dan  menggendong budak itu ke mobilku.

Tidak seperti tamu biasa yang akan duduk di kursi tunggu, Dazai masuk ke ruang ICU dan melihat seluruh proses pengobatan yang kulakukan. Ruang ini memang dikhususkan untuk klien-klien rahasia, tidak ada petugas dan pasien selain Dazai.

"Banyak sekali alat bantunya."

"Yah, seburuk itulah kondisinya. Kau harus sabar menunggu sampai dia sembuh, oke?"

"Berapa lama?"

Pertanyaan itu menunjukkan kalau Dazai benar-benar tidak sabar. "Tiga minggu." sebenarnya seminggu saja sudah cukup. Tapi aku tahu Dazai pasti akan menjemput pada setengah dari berapapun jangka waktu yang aku ucapkan.

"Lama sekali... "

Aku tidak menjawab apa-apa lagi dan keluar dari sana. Membiarkan Dazai berdua dengan mainannya yang rusak.

Ketika aku kembali, dia masih berada di posisi awal. Tidak bergerak, bahkan tidak menyentuh budak yang terbaring itu. Matanya hanya menatap dengan lurus, entah apa yang terpantul di bola matanya.

"Kau tidak bekerja?"

"Kerjaan menyebalkan," ia mengaduh. "Petinggi-petinggi itu hanya mementingkan diri dan harta mereka sendiri."

"Bukankah kau sama?" sindirku.

"Mungkin. Tapi tidak dengan harta." kali ini tangannya bergerak. Membelai pipi si budak dengan pelan. Mata yang sendu itu tidak pernah kulihat bahkan ketika orang tuanya meninggalkannya di Jepang dan pergi ke Amerika. "Dia akan sembuh kan?"

Suara elektrokardiograf mewakilkan detak jantung yang begitu lembut. "Kalau kau bisa tenang dan membiarkan pengobatan ini berjalan sebagaimana mestinya, ya tentu saja dia akan baik-baik saja."

Aku mengerti seluk beluk Dazai Osamu. Bagaimana sikap tenangnya menutupi pikiran-pikiran yang berkecamuk dalam kepala. Bagaimana tatapannya menjelaskan dia sedang khawatir dan bingung tentang hal yang tidak pernah ia rasa.

"Bagaimana kalau kau pulang saja? Aku akan meneleponmu saat dia bangun."

Dia ragu. Benar-benar anak ini.

"Iya juga."

Jawaban itu terjadi setelah jeda panjang. Membuat kulitku berdesir mendengar suara dalamnya. Sebuah penurutan yang menandakan datangnya badai.



---

Melihat Chuuya terbaring dengan selang-selang itu bukan hal yang bagus. Bahkan aku tidak suka. Kenapa bisa jadi seperti ini? Seharusnya dia tidak hancur dengan mudah. Seharusnya dia tetap akan berada di kamar, terisolasi, dan menemaniku sepanjang waktu.

Tapi sekarang dia sekarat. Dia sekarat karena aku yang mencoba membunuhnya. Aku mencoba membunuhnya karena emosi yang melonjak. Emosi yang melonjak karena sebal dengan petinggi-petinggi organisasi yang tamak.

Ya. Tentu saja. Ini salah mereka.

Ini bukan salahku Chuuya berada dalam ICU. Ini salah mereka, perbuatan mereka. Mereka yang membuat Chuuya menderita dan kesakitan.

Aku harus membalasnya.

.
.
.
.
.

-tbc-



By : SeaglassNst
March 24th, 2019

Tu m'appartiensWhere stories live. Discover now