-XII-

4.5K 296 37
                                    

Disclaimer by Asagiri Kafka and Harukawa Sango




Dazai Osamu menyukai Nakahara Chuuya.

Aku tidak menyangkal walaupun nama belakang itu baru kuketahui beberapa detik lalu. Kenyataan bahwa sejak awal dia diciptakan untukku, tidak akan berubah bagaimanapun dunia mengacaukannya.

Aku menyukai Chuuya, tapi tidak semua bagian darinya.

Satu hal yang menodai Chuuya yang indah di pelukanku ini adalah sekitar empat sentimeter persegi kulit sintetik di bagian pinggul kanan. Kutanya padanya ketika pertama dibawa Yosano-sensei dengan perban melilit bagian itu, lalu ia bercerita tentang majikan lamanya. Di sebuah mansion super besar dimana pertama kali ia bisa berjalan bebas berkeliling rumah menjajakan tubuh. Hukuman itu terjadi di sebuah malam tahun baru setelah Chuuya tidak sengaja melihat sang majikan bersenggama dengan putrinya. Chuuya yang mengaku dirinya bodoh dan sial ditarik ke dapur dan disiram minyak panas. Keesokan hari ia segera dijual di lelang sebagai barang diskonan, lalu Yosano-sensei membelinya untukku.

Sedikit cacat itu sungguh menyedihkan. Sebuah perbedaan antara kehangatan yang kusapu dari pipinya tidak ada di bagian itu.

"Kenapa engkau begitu rapuh? Kenapa aku baru menemukanmu sekarang?"

Dia melenguh ketika anak rambutnya kusampirkan ke belakang telinga.
Mori-san memberiku dua pilihan. Pergi ke Italia, memusuhi seluruh geng mafia, memberi keamanan mutlak untuk Chuuya. Atau lari, menghilang dari dunia, menjadi musuh seluruh bagian hitam dunia bawah.

"Dazai?" suara parau mencegahku bangkit dari tempat tidur. "Tidurlah sebentar lagi, di sini."

Aku tidak pernah menyukai perintah, bahkan dari Mori, apalagi seorang budak seks yang hina dan hancur ini. Tapi kenapa tanganku dengan ringan bergerak mengelus surai jingganya yang lembut, kenapa senyum yang kutarik bisa begitu melegakan sampai ke saraf otakku, kenapa aku ingin ia sekali lagi meminta untuk itu.

"Kumohon..."

Aku mengecup pelipisnya.

"Maaf Chuuya, tapi kita harus pergi."

Hening terjadi ketika ia berusaha bangkit melawan nyeri dari luka yang kusebabkan di berbagai tempat pada tubuhnya semalam. Dengan punggung tangan ia mengelap mata biru yang basah, aku kembali menciumnya sebelum ia bertanya, "kemana?"

"Italia."

Azurenya membulat. "Kita lari sejauh itu?"

"Kita tidak lari, kita bekerja."

Menyenangkan sekali menggunakan 'kita' untuk segala hal, aku bertanya kenapa, apa, dan sampai kapan kata 'kita' akan tetap menjadi satu antara aku dan dia.

"Sayang sekali Tuanmu ini punya banyak musuh, jadi aku harus bekerja keras untuk hidup yang menyenangkan."

Ia tertawa kecil, "hidup yang menyenangkan. Denganmu?" matanya begitu jernih pagi itu, "terdengar sangat indah."

Ia merangkak turun ke tempat tidur. "Kalau begitu ayo, ke Italia."

Aku tidak pernah melihat sisi ini darinya. Sisi dengan banyak sekali aura bersinar seakan ia menanti hari esok untuk dijalani. Kenapa? Karena sekarang kami berdua, karena sekarang kami memutuskan untuk saling memiliki, karena aku tahu aku sangat menyayanginya.

Namun sebelum petualangan mematikan itu dimulai, tidak salah kan kalau aku ingin berdua dengannya sebentar?


---

Aku tidak pernah melihat senyum yang lebih hangat selain ini. Menggetarkan sampai tenaga yang kupunya hanyut dalam kelembutannya. Ia menarikku kembali jatuh ke atas kasur, jika tidak ada luka di kaki yang tertekan akibat tindihan mungkin ini akan sempurna ketika sosoknya dengan senyum yang semakin lebar itu berada di atasku.

Tu m'appartiensTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang