-VI-

7.9K 501 73
                                    

Disclaimer by Asagiri Kafka and Harukawa Sango


"Kau lapar? Apa yang ingin kau makan? Aku yakin rumah ini punya buah dan sereal di dapur."

Aku tidak percaya dia mengatakan itu. Yang biasa dilakukan majikan pada seorang budak adalah memberi nasi basi, tanpa sayur apalagi buah. Saat aku dibeli olehnya, aku selalu makan apa yang dia makan. Pola makannya tidak begitu sehat. Terlalu banyak makanan instan, tapi itu sudah lebih dari cukup. Terlalu banyak malah.

"Kau Tuanku."

Ia tampak terkejut, kemudian tersenyum. Ya ampun.. Ini benar-benar neraka sampai aku bisa merasakan sesuatu menggelitik di dada ketika tahu senyum itu ditujukan untukku.

"Akan aku ambilkan buah," ucapnya. Lalu mengecup sisi-sisi bahuku sebelum beranjak keluar kamar.

Mataku mengikutinya hingga hilang si balik pintu. Lalu beralih pada sepetak jendela di hadapanku. Menghadap langsung ke laut biru. Berkilau, luas, dan tenang. Entahlah apa yang kuharapkan. Aku ingin menjadi bagian dari ketenangan itu. Pergi dari semua lalu menyatu dengan laut.

Lalu kemudian aku tersenyum pahit. Bodoh sekali. Kebaradaanku hanya akan menodai birunya dengan kelamnya dosa.



---

Aku tidak ingin meninggalkannya di kamar. Kalau bisa aku ingin meletakkannya di tempat yang terjangkau pandangan dan jangkauanku. Aku tidak mau terpisah lagi darinya, aku tidak mau ia pergi lagi dan menyisakan sepi yang mencabik.

Tapi aku tidak bisa memaksanya bergerak banyak. Kondisinya masih rentan, aku tahu itu. Yosano-sensei pasti marah besar jika menemukanku. Ya, dia pasti akan menemukanku. Hanya masalah waktu sebelum ia datang.

Tidak masalah. Aku akan tetap mempertahankan Chuuya bagaimanapun caranya. Dia harus tetap bersamaku.

Tanganku begitu lancar mengupas apel, selancar pikiran mengenai hal-hal yang bisa kulakukan dengan Chuuya mengalir di kepala. Ah, aku bisa merasakan bibirku tersenyum membayangkannya. Aku ingin memeluknya, menyentuhnya, menciumnya, meninggalkan jejakku di tubuhnya, merasakan kehangatannya, lalu mendengar teriakannya. Aku sangat rindu. Ya. Rindu.

"Chuuya, ayo ke depan." Aku memanggilnya, menunggu ia keluar dari kamar lalu menggamit tangannya menuju kursi di ruang depan.

Aku memintanya duduk di pangkuanku, dia lebih ringan dari sebelumnya. "Kau kehilangan berat badan."

"Sepertinya."

Aku mencium pipinya, apa itu rona yang kulihat?

"Makanlah. Aku akan kupas lagi apelnya kalau kau mau."

"Kau pikir orang sakit bisa makan seberapa banyak?" ia memasukkan sepotong apel ke mulutnya. Ya ampun, aku ingin menciumnya. Dan itu yang kulakukan. Singkat, tidak ingin ia tersedak.

Dia tidak berkomentar. Benar-benar pasrah tanpa perlawanan. Tidak peduli jika kugigit bibir dan lidahnya, dia sungguh kehilangan harapan.


----

Aku pergi ke kantor Dazai. Dia benar-benar tidak meninggalkan pesan atau apapun yang mengatakan posisinya. Ya ampun, apa yang dia lakukan sekarang? Apa budak itu masih hidup? Dimana mereka? Apa mereka masih di negara ini??

Kuparkir mobil secara asal dan langsung berlari menuju lift. Lantai dua adalah lobi, segera aku ke resepsionis. Mereka mengenalku sebagai dokter Dazai Osamu.

Tu m'appartiensWhere stories live. Discover now