-VIII-

5.9K 436 25
                                    

Disclaimer by Asagiri Kafka and Harukawa Sango


Aku tidak bisa tidur lagi. Setelah semua hal penuh emosi itu, suasana di dalam mobil sangat aneh. Bukan keheningan yang diisi Dazai dengan mengganti channel radio, melainkan hanya sebuah hening yang membekukan aliran darah

Sekitar enam jam kami berkendara dia memberiku sebuah roti berisi beras merah dan air mineral. Selain itu, aku sama sekali tidak bisa menutup mata. Banyak sekali hal yang berkecamuk dalam pikiran. Mulai dari cekikan, ciuman, pelarian, pembunuhan, lalu sebuah tawaran yang sudah kusia-siakan. Aku tidak bisa menerima mimpi karena sibuk berkutat dengan hal yang telah lewat.

Dazai tidak tampak lelah dan kemudian mengambil jalan pegunungan. Awalnya kupikir kami mau ke luar kota, namun ketika sebuah tanjakan curam mengarah ke puncak gunung, ia membelok dan mengikuti jalan tanah.

Permukaan tanah yang tidak rata menambah rasa pusing. Sejenak aku mencoba melengketkan kepala ke bangku dan menutup mata. Dazai menurunkan kecepatan ketika bebatuan besar menjadi rintangan.

Ia memberhentikan mobil di bawah sebuah beringin raksasa, masuk ke sulur-sulur yang menggantung sebagai tirai penutup. Ia menarik tanganku, kuanggap itu sebagai penjagaan agar tidak lari.

Kami hanya berjalan sejauh dua ratus meter lalu menuruni tebing tanah. Tidak lama hingga sebuah benda yang aku tahu sebagai van house tampak di ujung mata. Warnanya hampir menyatu dengan hutan. Dazai membawaku masuk ke van itu.

Aku tidak pernah melihat rumah van kecuali dari televisi. Begitu kecil dan padat dengan tatanan sempurna. Di depan pintu ada kitchen set dan westafel, aku rasa itu pendingin di sebelahnya. Mataku menjalar ke sebuah double bed di ujung, merapat dengan lemari kecil, lalu toilet dan kamar mandi yang bersebelahan. Di sebrangnya ada sofa biru panjang dengan beberapa bantal bersih.

Dazai meneguk sebotol air mineral yang ia ambil dari pendingin sebelum kembali berjalan ke arahku. Menutup pintu lalu menghidupkan lampu.

"Kau akan disini untuk sementara."

"Aku?"

"Ya, kau. Aku punya hal penting yang harus kuurus." Dia menarikku ke kamar mandi dan menghidupkan shower. "Airnya tidak akan habis karena dibor dari tanah, tapi usahakan kau menghemat. Listriknya pakai tenaga surya. Di kulkas banyak bahan makanan, kau bisa masak?"

"Aku sudah lama tidak masak. Mungkin aku lupa caranya."

"Kalau begitu tidak apa-apa. Ada banyak pakaianku di lemari, semua bersih. Lalu," ia membuka sebuah lemari yang digantung di atas sofa. Ada beberapa buku di sana, oh, senapan! Tunggu, dia mengambil sebuah buku dan mengeluarkan pistol dari dalamnya. Ya Tuhan.

"Ini, untuk berjaga jaga."

Tubuhku bergetar ketika ia menyodorkan benda itu. Tanpa sadar aku melangkah mundur hingga membentur pintu toilet, menolaknya.

"Chuuya," aku kalap ketika dipaksa mengambil pistol. "Biasakan dirimu, bernapaslah." Aku mengikutinya dan mengambil napas menghindari sakit sialan itu.

"Kau pernah melihat orang menembak?" aku mengangguk. Mengingat orang-orang kaya menembaki budak mereka hanya untuk euforia. Meneguk ludah rasanya sangat berat. "Ini kuncinya pakai seperti ini. Lalu kau tinggal tarik pelatuknya, mudah kan? Lalu pelurunya, kau isi seperti ini. Mengerti?"

Aku bergeming. Membayangkan bagaimana rasa menembak, menarik pelatuk dan melontarkan peluru dari benda kecil ini. Bagaimana- bagaimana benda kecil ini bisa menghilangkan nyawa para korban penculikan yang disiksa seperti binatang.

"Chuuya, kau mengerti?"

"A-aku tidak.. hh.. Kau mau kemana?" sungguh, maafkan aku karena membalasmu dengan pertanyaan lagi. Membayangkan pria itu akan pergi dan meninggalkanku di hutan ini, sendiri, apa dia benar-benar membuangku? Apa dia benar-benar ingin aku pergi? Lalu untuk apa dia memintaku menetap?

"Empat hari." Aku merasakan bibirnya di dahi. "Tunggu aku empat hari."

"Apa yang harus kulakukan selama itu? Menunggu?" Aku tidak terbiasa menunggu. Aku tidak pernah menunggu para Tuan itu datang untuk menenggelamkanku dalam kehinaan. Jika ada hal yang kutunggu, itu adalah kematian.

"Aku harap kau tetap di sini saat aku kembali."

---

Tatapannya berubah. Aku yakin tadinya yang kulihat adalah sebuah trauma dan cemas, namun sekarang tidak ada hal selain amarah yang dipancarkan manik birunya.

"Jangan bodoh." Dia berucap, melemparkan pistol yang kuberi ke atas sofa, mendorong dirinya sendiri sampai membentur pintu toilet. "Aku tidak mengerti pikiranmu."

Aku tahu tangannya yang mengepal ingin sekali meninju sesuatu, lebih pastinya aku, tapi pikirannya masih terbelenggu dengan aturan perbudakan.

"Kau melarangku meninggalkanmu, kemudian kau menyuruhku pergi, lalu kau membawaku ke tempat ini dan ingin meninggalkanku sendiri, dan setelahnya kau malah menyuruhku menunggu sampai kau kembali?"

Tidak bisa kusembunyikan rasa terkejut ketika melihat matanya berkaca, siap menangis namun ia menekan semuanya. Suaranya, air matanya, hasratnya untuk marah, semuanya. Yang sampai pada dunia hanya kata-kata dari korban ketidakadilan. Aku melihat keputus asaan itu lagi.

"Kalau kau ingin aku tetap bersamamu, seharusnya kau pasang rantai di leherku. Kalau kau ingin aku pergi, kenapa kau tidak ambil pistolnya dan tembakkan ke kepalaku? Kenapa menyuruhku menunggu? Kenapa meninggalkanku disini? Kenapa kau permainankan aku sampai seperti ini? Perlakuanmu terlalu berat, bahkan untukku..."

Wajahnya tertunduk, tapi air yang menetes dari bulu matanya sangat tampak. Aku tahu dia bingung, tapi aku juga tidak mengerti apa yang kuinginkan. Aku tidak pernah pikirkan apa yang dia inginkan. Sejauh ini hanya rencanaku sendiri yang menuntun kami sampai terjebak di situasi ini. Polisi yang mencari, mafia yang mengejar, tanpa paspor dan peluang untuk keluar negeri, aku benar-benar tidak memikirkan dirinya dan hanya kebutuhanku.

Pada awalnya aku tahu itu benar. Bagaimanapun dia seorang budak dan aku adalah Tuannya. Apapun yang kumau, apapun kehendakku, dirinya ada hanya untuk mewujudkannya. Tapi kenapa rasanya aku ingin berikan dia sesuatu yang didambanya? Dia menolak sebuah kebebasan yang kutawarkan, memilih kematian dan memintaku menghujam pisau ke dadanya. Tapi semua itu salah untuknya. Bukan itu yang aku dan dia inginkan.

"Kau ingin aku tinggal?"

Isaknya berhenti. Ia menatap dengan sepasang permata biru yang memancing gejolak rindu dari diriku. Aku tidak mengerti.

"Aku tidak bilang begitu.." ia menyeka air mata, "...aku takut kau pergi dan tidak kembali... Aku.. aku takut mati sendiri disini...."

.
.
.
.
.

-tbc-

By : SeaglassNst
July 3th, 2019

Tu m'appartiensTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang