-VII-

6.5K 428 27
                                    

Disclaimer by Asagiri Kafka and Harukawa Sango


"Jangan pernah meninggalkanku ya." Kecemasanku tiba-tiba menyurut begitu senyumnya muncul. Tidak pernah kulihat, namun begitu tulus. Bagaimana bisa hal seperti itu datang? Dari monster sepertinya? Manusia yang sudah kehilangan jiwa itu?

"Aku tidak mengerti. Kenapa? Kenapa kau ini?!" tanpa sadar aku menarik tangan dan berteriak. Penuh tekanan keputusasaan yang kupendam selama hidup. Meneteskan air mata hingga membuatnya terkejut.

"Kau gila! Tidak waras! Idiot! Apa yang kau katakan hah? Itu perintah? Permintaan? Kau memintaku melakukan hal itu?! Jangan bodoh!"

Ya ampun. Emosi ini. Dari mana datangnya? Padahal kukira aku sudah menjadi boneka tanpa jiwa. Tanpa perasaan. Kenapa aku bisa begitu marah? Begitu sedih? Begitu hina? Dan begitu hangat?

"Akan lebih mudah kalau kau menghujamkan pisau itu kesini," aku menekan dadaku. "Dengan begitu aku—"

"Akan lari dari kehidupanmu?"

Ya tepat. Sepengecut itulah diriku.

Aku diam, tidak menjawab, pun dia yang bahkan tidak menuntut jawabanku. Yang dilakukannya hanya menarik tanganku. Meminta, tidak memaksa, untuk berdiri. Aku mengikutinya dan masuk ke mobil. Kami pergi, meninggalkan mayat wanita itu di sana.

Tidak ada yang bicara. Bahkan suara radio tidak terdengar di tengah kebisuan ini. Aku merapatkan selimut, merasakan getaran mobil. Sesekali melihat pantulan wajah itu di jendela, namun tidak ada yang kudapatkan selain mata yang serius berpikir. Entah apa.

Kemudian kami berhenti. Itu sebuah restoran cepat saji, dengan parkiran luas yang sepi. Langit begitu gelap jika dilihat dari dalam mobil, tapi aku tau pasti cerah di luar sana.

"Aku akan beli makanan." ujarnya. "Mau titip?" aku menggeleng. Apa hakku untuk melakukan itu? Lagi pula aku tidak tahu makanan apa yang bisa kubeli di restoran cepat saji. Dan kenapa dia bisa mengatakan hal seakan tidak mengingat apa yang telah terjadi?

Walau demikian, dia sama sekali tidak bergerak dari bangkunya. Hanya diam menatap hamparan lapangan parkir. "Aku akan keluar dan meninggalkan uangku disini. Jika kau mau kabur, inilah saatnya."

"Apa?!"

"Ini satu-satunya kesempatanmu. Aku tidak akan mencarimu, tidak akan mengejarmu, dan tidak akan membuatmu jatuh ke tangan orang lain. Ini waktunya kau bebas."

"Kau ini ngomong apa?! Kau mengejekku??!"

Dia menghela napas. Kenapa? Aku tidak mengerti jalan pikirannya! Dia benar-benar sinting!

Ia memalingkan wajah, menatapku dengan sepasang topaz itu. Yakin, tegas, penuh tuntutan dan pengharapan. Apa yang dia harapkan dari manusia seperti aku?

"Dengar," tangannya menangkup pipiku. "Mungkin yang dikatakan Yosano-sensei benar. Mungkin aku hanya mengatakan 'aku akan melindungimu' saat ini hanya karena aku merindukanmu. Mungkin di masa depan aku akan kembali menyakitimu. Mungkin akan benar-benar ada waktu dimana aku membunuhmu. Karena itu Chuuya, demi Tuhan, kumohon jangan buat aku melakukan itu."

Ah, aku tau ini. Aku tau rasa ini. Aku pernah mengalaminya, pernah merasakannya. Setiap detik hidupku diisi dengan ini, rasa takut dan tidak percaya pada diri sendiri.

"Aku tidak tahu mau kemana," ujarku.

"Kau punya keluarga? Kau bisa pulang."

"Konyol. Mana mungkin aku pulang setelah menjadi budak seks."

Tu m'appartiensWhere stories live. Discover now