-XIII-

4.4K 211 19
                                    


Disclaimer by Asagiri Kafka and Harukawa Sango





Suara langkah dari balik tembok batu yang bergema dengan hentakan kejam sudah biasa kudengar. Waktu terasa berjalan begitu lama karena teror yang semakin mendekat. Tubuhku bergetar ingin menyobek keluar saraf pendengar.

Cambuk atau bara adalah hal yang selalu menjadi tebakanku tanpa menelaah apa alasan aku mendapatkannya. Namun sekarang, yang terdengar hanya waktu. Detik jam. Penantian akan sebuah pelukan hangat di balik selimut pukul sepuluh malam. Walaupun aku masih tergantung dengan borgol di kedua pergelangan tangan.


"Aku bawa makanan."


Dia berkata setelah membuka pintu. Cahaya remang dari lorong tidak membantu mataku melihat sosoknya, yah aku juga tidak tertarik melihatnya.

"Tidak ada rasa terimakasih? Benar-benar barbar," ucapnya setelah melemparkan roti di hadapanku. Borgol yang menarik kedua lengan diturunkan, ia ingin aku mengambil roti itu dengan tanganku sendiri yang terlalu keram untuk bergerak.

"Lima menit, lalu aku akan mulai introgasi lagi."

Perutku berputar, tidak ingin makan.

"Bertahanlah.."

Kata-kata yang ditanamkan di kepalaku seperti mantra agar aku bisa bertahan. Memaksaku hidup bukan atas perintah, melainkan kerinduan dan kesetiaan. Aku memakan rotinya.

Sesuai janji ia menarik kembali borgol itu setelah lima menit tanpa memberi waktu lambungku melakukan tugasnya dengan sempurna.

"Aku tidak ingin melakukan ini terus karena buang-buang waktu," aku melihatnya mengambil cambuk yang digantung di sudut ruangan. Ah cambuk lagi, aku hampir bosan akan rasa sakitnya. "Jinko juga sudah mulai jengkel karena aku sibuk denganmu."

"Cemburu?"

Aku meledek. Sejujurnya aku tidak pernah melawan atas perintah, tapi karena situasi yang berbeda aku harus beradaptasi. Memancing perhatiannya adalah hal yang harus kulakukan. Bukan menjadi sekadar tawanan yang diintrogasi, aku akan mencabik-cabik hidup indahnya.

"Kau sungguh buang-buang waktu ya?" Aku terkejut karena tiba-tiba ia memecut kakiku. "Cukup katakan siapa temanmu, lalu kau bisa pergi. Apa sebegitu mulianya kesetiakawanan di hidupmu, eh?"

"Tanpa kukatakan kau juga akan tahu sendiri."

"Berapa orang?"

Seperti dia yang tidak mengindahkan sindiranku, aku pun tidak mengindahkan pertanyaannya. Diam menjadi jawaban sebelum ia memecut tubuhku.

Dua hari berada di sini sudah menimbulkan hampir lima puluh bekas cambuk yang belum pulih. Dia tidak memberiku waktu perawatan selain menyiramnya dengan air ketika ke kamar mandi. Itu saja. Luka-luka itu kini merekah dan merah.

Memang, cambukan yang kuterima dari dia lebih pedih, lebih membakar, namun aku menyukainya. Tidak dengan yang ini. Aku hanya menerimanya karena harus.

Yang ditanyanya selalu sama.

Berapa orang

Dimana

Untuk apa

Namamu

Siapa yang menyuruh

Ah, aku tidak bisa menjawab itu semua. Tentu saja.

"Kau tahu dokumen apa yang kau curi?" Oh, ini baru. Dia tidak pernah membicarakan tentang itu. "Sebuah surat berisi perizinan legalitas operasi mafia beserta daftar distribusi senjata di Italia."

Tu m'appartiensWhere stories live. Discover now