34| Our First New Memory

21.8K 3.5K 2K
                                    

You've completed challege, astaga. Aku ngga nyangka bakal cepet banget. Ada challenge tanpa sadar buat aku semangat. Makasih ya.

Trigger warning: Depiction of sexual intercouse, explicit content.

— — —

Emosiku tidak bertahan lama. Hanya serupa lonjakan pedal dan kembali meluncur turun. Sesuatu yang sering kurasakan belakangan. Amarahku bisa meledak-ledak, lalu tak lama surut lagi. Jeon berhasil mengkap kemarahanku hanya karena dia menerima bibirku. Entah, sudah berapa lama waktu yang kami habiskan untuk saling bercumbu.

Ciuman kami liar, gila, dan nakal. Dipenuhi segenap afeksi mendamba. Tidak ada dari kami yang menolak. Aku tahu Jeon membutuhkanku, sama seperti caraku menginginkannya. Namun aku mengerti, sebanyak apa pun harapan menyentuhnya, akal sehatku harus kembali; memberi batasan sampai mana aku bisa menyentuhnya.

Jika Jeon ingin kami mundur sekarang, aku akan langsung turun dari pangkuannya. Tapi Jeon tidak menolak sentuhanku. Dia memberi izin dua tanganku meremas rambutnya. Dia memperbolekanku menyentuh bagian dada atau meremat lengannya. Dia membiarkan pipinya basah karena ciuman sembarang kami yang belepotan.

Bahkan selagi bibir kami sibuk, Jeon memasangkan kembali cincin yang baru kulepas alih-alih membuat ciuman kami selesai. Dia seperti terlatih melakukan pekerjaan ganda.

Dua menit berselang, kulepaskan pangutan kami. "Sebentar. Jangan di sini." Aku turun dari pangkuannya dan menuntun Jeon ke balik meja kerjaku, menyingkirkan beberapa kertas, dan mencari sesuatu di laci.

"Mau minum?" tawarku. Suasana semakin rileks ketika ia memberiku secercah senyum manis, kemudian menggeleng. "Belum haus."

Aku segera menemukan ikan rambut biru dan menutup kembali lacinya. "Kau masih dalam hukumanmu, Koch." Mataku berkilat lembut.

"Aku tahu," katanya tak gentar.

Aku maju selangkah dan mengurungnya di meja. Alis mataku naik menantang. "Tidak takut?" tanyaku dengan sorot mencerca.

Jeon menatapku lama sekali, seolah sedang menggumiku dan tersenyum lagi. "Shin Runa takkan menyakitiku."

Jeon seharunya menyerah padaku, maka akan kubebaskan dia dari situasi kami. Tapi dia justru mengambil pilihan yang terdengar tepat. Jawaban yang semata-mata membuatku puas. Sempat kuamati bibir bengkak dan merah miliknya sebelum memberinya ciuman sederhana dan melangkah mundur. Menjepit ikat rambut di bibir, mengumpulkan rambut jadi satu, dan menguncirnya rendah. Selama itu pula kontak mata kami terus menyatu.

"Aku punya sesuatu menarik yang ingin kulakukan bersamamu." Tanganku meraih pinggul rampingnya dan turun pada keliman pakaian Jeon. Kardigannya Jeon yang telah tanggal di sofa membuatku mudah melakukan apa yang kumau. "Tapi harus kukatakan beberapa hal. Aku tahu ini terdengar licik, but I wanna be as your personal sex guide."

Pesona Jeon yang tiada habisnya membuatku ingin menyentuhnya segera. Aku ingin mengecap seluruh dirinya. Namun kewarasan masih bisa mengontrol diriku.

"Katakan sesuatu sebelum terlambat." Aku membuka kancing kedua piayamanya.

"Lakukan saja." Kalimat yang terdengar berani, terdesak, dan bahkan tidak kuperhitungkan keluar dari bibirnya. Napasnya mulai memberat. Mata kelabunya tidak secerah sebelumnya, dan aku sadar betapa inginnya dia disentuh. Betapa ketagihannya dia dengan jariku. Mungkin juga karena tensi, mungkin juga rindu campur mabuk kepayang sampai dia tidak bisa menolak.

"Pertama, aku ingin membuat ini lebih mudah untuk kita, Koch. Aku harus mengakui betapa aku tidak suka pada seluruh sikapmu malam ini, pada Go Ae Jin, pada hubungan kalian, dan segala macam kenangan yang kalian punya. Aku cemburu." Aku membebaskan kancing ketiganya dari lubang pakaian. "Aku juga sudah tidak peduli seberapa besar kau mencintai dia. Tapi kau harus tahu, untuk siapa aku di sini. Ini bukan ancaman, Koch. Aku hanya tidak mau menyakitimu dengan nafsu karnalku. Mengerti?"

OcéanorWhere stories live. Discover now