10| Nobody Can Hurt You

36.9K 6.1K 5.3K
                                    


"Sementara kau tunggu di sini, akan kubuatkan minuman."

Aku hanya membalas ucapan wanita itu dengan seulas senyum kikuk.

Dia mengizinkanku duduk di sofanya setelah melihat-lihat semua perabotan di tempat ini kurang dari dua puluh detik. Kamar yang mirip ruang kerja ini tak jauh dari pintu masuk, tapi juga bersebelahan dengan teras.

Aku bisa melihat dari balik pintu geser dua sisi yang terbuka dan menampilkan kebun asri yang terurus, berdiri satu pohon rindang (usianya mungkin sudah puluhan tahun), adapula pot-pot bonsai berjajar di lantai kayu serta empat tiang jemuran. Rumputnya terawat, mirip artifisial, tapi aku tahu itu asli. Percikan sinar matahari pagi yang masih muncul malu-malu membuat segalanya lebih cantik seperti ilustrasi buku dongeng.

Selagi menunggu wanita itu kembali, pandanganku berkeliaran lagi. Banyak barang seperti kursi, meja, jam antik sudut, dan rak ukuran delapan puluh senti penuh buku. Dari deretan buku itu aku mampu menemukan beberapa judul buku yang pernah kubaca.

Bertepatan ketika aku tengah memandangi gambaran-gambaran krayon di selembar kertas hvs yang menyebar di dinding, wanita itu sudah membuka pintu dengan nampan kecil.

Aku hendak berdiri membantunya.

"Duduk saja." Dia menahanku lebih dulu saat pantatku baru menjauhi sofa beberapa senti.

Wanita itu mengambil tempat di depanku. Hanya ada satu minuman yang dia bawa. Artinya, dia cuma menyediakannya untukku.

"Minumlah."

Aku meminumnya seteguk. Tidak menampik, yulmu cha* memang terasa nikmat untuk pembuka hari.

(Ibarat kopi orang Korea, cocok diminum sebelum memulai aktivitas. Terbuat dari biji-bijian yang diracik menjadi teh)

"Jadi kau Shin Runa?" Dia tersenyum dan menempatkan sebelah kaki jenjangnya ke atas paha kiri sambil menyandarkan punggung ke sandaran kursi.

"Ya. Benar." Lebih dari itu aku terkejut karena dia mengetahui namaku. Apakah Jeon memberitahunya?

Aku ikut diam ketika dia diam. Ia masih tersenyum saat memandangiku seperti menungguku mengatakan sesuatu. Saat dia menarik bibir aku bisa melihat kerutan halus disekitar mata, hidung, dan bibir. Menilai usianya, perempuan ini kemungkinan lebih tua dari suamiku.

"Jadi kau tidak ingin tanya siapa namaku? Apakah kita harus mengobrol tanpa saling mengenal?"

Pertanyaan menjebak. Aku tidak tahu harus bagaimana bereaksi ketika melupakan etika berkenalan. Aku merasa sangat gegabah untuk pertemuan pertama.

"Maafkan aku." Aku mengucapkan dengan suara tulus.

"Tidak masalah. Aku Bae Miwol." Dia menarik napas lega. "Senang akhirnya kita bisa bertemu. Maaf tidak hadir di acara pernikahan kalian."

"Bisa kumaklumi." Walaupun tidak tahu apa yang harus kumaklumi.

"Usiamu 27 tahun benar?"

Aku hanya mengangguk. Sedikit jengkel karena Miwol mengulur waktu. Rasa penasaranku seperti ujung tombak sekarang.

"Kepadaku, Jeon sudah sering membicarakan tentangmu."

"Sebetulnya kedatanganku ingin bertanya tentang kalian," celetukku. "Ini mungkin terdengar sangat tidak sopan tetapi aku pernah melihat kau dan suamiku berpelukan."

OcéanorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang