08| Story of Another You

35.1K 5.5K 1.8K
                                    

Malem minggu ditemenin Tuan Océanor

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Malem minggu ditemenin Tuan Océanor.

Oh ya terus yg sering skip vote, tolonglah. Aku bingung sama pembaca yang masih menikmati océanor tapi vote ga mau, follow aku juga tidak, apalagi tinggalin review. Udah tahun 2020. Belajar menghargai orang lain. Dan aku jadi bisa tau pembacaku suka bagaian apa? Kenapa dll

Makasih juga yang masih stay sampai bab ini 💜



— — —


Kali ini aku takkan bangun kesiangan.

Aku bangun sepuluh menit sebelum Jeon terbangun.

Aku yakin betul Jeon sudah menyetel dan mengatur alarm setiap hari. Oleh sebab itu dia selalu bangun dan pergi tidur pada jam-jam yang sama. Jeon selalu tahu kapan waktunya istirahat.

Mungkin saat Jeon tertidur di sofa kemarin, dia melakukan tepat waktu di sela pekerjaan.

Kurasa begitulah pola kehidupan orang-orang sukses di seluruh dunia; disiplin.

Pagi ini aku membuat roti selai kacang sebanyak tiga lembar dan bulgogi. Akhir-akhir ini bila diperhatikan Jeon makan cukup banyak. Toh, kalorinya akan dibakar lagi dengan work out. Jadi, tidak khawatir makanan bisa mencuri otot lengan, kaki, maupun perutnya (walaupun aku belum pernah lihat detail otot tubuhnya sih).

Telepon di dekat dapur berbunyi. Buru-buru kuletakkan ketel listrik di tempatnya, lalu menekan tombol on. Lampu kecil berwarna oranye menyala, setelah itu aku menyambar gagang telepon.

"Halo, Pa." Aku menerima panggilan ketika tahu bahwa di seberang sana adalah ayah mertuaku.

"Semalam aku tidak bertemu kalian."

"Aku dan Jeon mengutuskan kembali. Mama bilang Papa tidak pulang."

"Memang tidak. Harusnya aku menemui kalian dulu. Nah, di mana Koch?"

Begitulah ayahku menyebut Jeon dengan nama Koch.

Koch adalah nama tengah Jeon yang tidak banyak diketahui. Jeon Koch Kalinsky.

Saat resepsi pernikahan, ayah mertuaku membocorkan rahasia kalau sejak Jeon lahir, beliau tidak pernah suka orang lain memanggil jagoannya dengan panggilan yang sama.

Ayah yang posesif.

"Dia masih di kamar," sahutku.

"Sudah bangun?"

Aku mendorong badan mundur, memastikan pintu kamarnya belum terbuka. Suasananya sangat hening. "Belum, Pa. Mungkin lima menit lagi."

"Yasudah. Kalau begitu sampaikan saja padanya, minggu depan aku harus ke Costa Rica. Aku harap sebelum keberangkatanku ke New York, dia bisa bertemu singkat denganku di Apgujeong sore ini. Kalau hari ini tidak bertemu, dapat dipastikan kami tidak bakal bertemu selama empat bulan." Suara papa terdengar seperti diburu waktu.

OcéanorWhere stories live. Discover now