Artikel 1:"Bagaimana Menghadapi Tantangan Baru di Tempat Kerja"

701 116 16
                                    

Mengingat sifat Satya, seharusnya aku tahu tak boleh berharap banyak dari laki-laki itu. Bandung bisa langsung dilanda hujan badai plus gempa kalau Satya, si super perhitungan itu, mau begitu saja menolong orang lain. - Ghassani Faranisa

AKU selalu percaya pada pepatah "hasil takkan menghianati usaha", tapi tidak untuk kali ini. Betapa tidak? Walau sudah tiga harian memelototi layar laptop ASUS tua milikku dan berselancar ke sana-sini untuk mencari inspirasi, tetap saja aku tak tahu harus menulis apa. ARGH!

Jengkel, aku mengembuskan napas lelah dan memijat pelipis yang kini mulai berdenyut. Kepalaku terasa panas dan nyaris berasap. Mataku pun mulai berair. Hufth... Sepertinya ini bukan saat yang tepat untuk memaksakan diri terus mengetik. Bisa-bisa aku akan semakin emosi dan itu gawat. Terakhir kali aku emosi karena masalah serupa, keyboard laptop ini menjadi sasaran kekesalanku yang berujung dengan rusaknya beberapa tombol karena terlalu sering kutekan keras-keras. Karenanya, apa boleh buat, sepertinya aku harus istirahat dulu.

Sambil sedikit meregangkan tubuh, aku beranjak malas dari kursi kerja untuk membuat kopi. Ya, kafein selalu bisa membuatku sedikit rileks walau dalam bentuk kopi sasetan saja. Itu terjadi juga untuk saat ini. Setelah menghabiskan setengah cangkir kopi Javabica original sambil menatap padatnya rumah penduduk dari balkon lantai dua kamar kosku di bilangan Sekeloa, Bandung, perasaan jengkel dan frustrasi yang sejak tadi pagi menjajah pikiranku perlahan menghilang. Embusan angin malam ikut berperan serta menurunkan suhu kepalaku. Sebagai gantinya, kini aku merenungi kenapa bisa tersesat dalam dunia pergaiban ini.

"San, mulai besok kamu fokus utamanya di konten urban legend dulu, ya. Itu section baru di Hype Bandung, jadi belum ada yang bantuin Natasha. Saya mengandalkan kamu."

Ingatan akan peristiwa empat hari lalu itu membuatku sedikit terbatuk.

Ya! Aku ingat! Semua ini gara-gara Candi Mahadipa, chief editor portal berita online Hype Bandung—tempatku menjadi kontributor tetap selama enam bulan terakhir. Tiba-tiba saja dia memintaku jadi kontributor untuk section baru yang sengaja diluncurkan di bulan Oktober ini—bulannya para setan dan hantu berkuasa di dunia maya thanks to perayaan Halloween.

Sebetulnya aku pengin langsung menolak. Bukan karena takut diganggu oleh mahluk tak kasat mata, tapi karena aku tak yakin bisa menulis konten pergaiban. Terlebih karena aku sudah cukup nyaman dengan posisiku saat ini di bagian politik dan olah raga. Sialnya, Candi punya lesung pipi yang manis. Sorot matanya yang berapi-api setiap kali membicarakan tentang Hype Bandung dan segala perkembangannya pun selalu berhasil membuatku meleleh. Bukan salahku, kan, kalau akhirnya aku tak bisa menolak permintaannya? Lagipula, aku... uh, aku akui mendadak lemah kalau dia sudah mengatakan hal-hal seperti "saya mengandalkanmu" lengkap dengan senyum lebar yang memamerkan deretan gigi super rapi yang terlihat makin menawan setelah di veneer. Rasanya seperti melakukan perbuatan kriminal kalau sampai menolak permintaan-setengah perintah darinya itu—dan aku tak tega menghianati harapannya.

Jadi, yah, apa boleh buat. Walau tak yakin bisa, saat itu aku mengangguk setuju dalam tempo sesingkat-singkatnya. Dan, tadaaa, di sini lah aku berada sekarang. Terjebak dalam tugas membuat tiga artikel panjang tentang mitos gaib di Bandung dengan batas waktu akhir minggu ini—yang artinya, besok.

Cairan kecoklatan dalam cangkir 150 ml yang kupegang akhirnya mulai habis, dan itu sekaligus menandai berakhirnya waktu istirahatku. Sebaiknya aku segera kembali bekerja. Minimal besok aku harus bisa menyetor satu artikel panjang supaya Natasha, editor baruku, tidak menerorku. Untuk sisa artikel lain, akan kupikirkan nanti setelah berhasil minta perpanjangan waktu.

Aku kembali meregangkan tubuh dan menggaruk kepala, lalu melangkah malas ke meja kerja yang terletak di salah satu sudut kamar. Mencoba untuk kembali mencari inspirasi dengan pikiran yang sudah sedikit lebih segar. Namun lagi-lagi nihil. Dewa ide tetap saja tidak turun dan memberikan ilhamnya padaku! Atau... mungkin saja dia sudah mampir, tapi bentuk inspirasinya terlalu abstrak untuk kupahami. Atau mungkin idenya terlalu mainstream sehingga kuabaikan.

Habis, bagaimana?

Dari sekian banyak sumber yang sudah kukumpulkan, tetap saja yang muncul cerita itu-itu saja. Tentang hantu Nancy[1] lah, ambulan hantu lah, rumah kentang lah.... Seolah urban legend di Bandung hanya itu-itu saja dan tidak ada yang baru. Hufth, sepertinya aku harus mulai memikirkan cara lain untuk mencari inspirasi baru!

Tang, tung.

Terdengar bunyi khas notifikasi ponselku. Begitu melihat nama pengirimnya, aku langsung bersemangat.

Satya Prawira: Lo nelepon gue?

Sori, tadi lagi meeting.

Kenapa?

OMG, akhirnya Satya membalas pesanku! Dengan penuh rasa putus asa, tanpa membuang waktu tanganku bergerak untuk mengetikkan balasannya.

Me: Sat, kamu asli Bandung, kan?

Tahu hantu atau mitos di Bandung yang belum pernah dibahas orang?

Bantuin!

Mengingat sifat Satya, seharusnya aku tahu tak boleh berharap banyak dari laki-laki itu. Bandung bisa langsung dilanda hujan badai plus gempa kalau Satya, si super perhitungan itu, mau begitu saja menolong orang lain. Kalau saja tidak seputus asa ini, belum tentu aku sudi minta tolong dia. Serius!

Satya Prawira: LO KIRA GUE NGANGGUR?

Sori, gue sibuk

Minta tolong sama Candi, sana!

Nah, kan?

Jengkel, aku nyaris membanting ponselku ke meja. Untung saja bayangan sisa cicilan tiga bulan lagi berhasil membuatku sedikit menahan diri. Namun, baru saja akan meletakkan ponsel itu ke meja, aku nyaris melompat kaget karena notifikasinya kembali berbunyi. Cuplikan pesan yang tertera di layar kunci langsung membuatku tersenyum kecut.

Natasha Devi Azalea: San, lo belum kirim artikel yang gue minta?

Besok gue tunggu di ruangan gue, jam setengah dua

Jangan sampai telat

MATI AKU! 

[]

[1] Salah satu urban legend paling populer di Bandung.

Kata Vie:

Untuk cerita kali ini, saya coba mengangkat profesi yang sedikit berbeda dari profesi lain yang pernah saya bahas di beberapa novel saya, yaitu content writer. Yups, sama seperti Sani, saya dulu juga pernah menjadi content writer dan sedikit banyak mengalami drama seperti yang Sani alami, haha... bedanya, karena sistem kerjanya full online, jadi saya nggak harus datang ke kantor (dan nggak diceramahi oleh Boss secara langsung, walau pernah juga 'diarahkan' via video call, haha). Sedangkan, karena Sani ini semi-jurnalis juga, jadi dia kadang-kadang turun ke lapangan untuk wawancara langsung--sebelum akhirnya dijebloskan ke section urban legend oleh boss yang sudah lama dia taksir itu.

Kalian pernah menjadi content writer juga? Punya pengalaman unik apa sewaktu menjadi content writer? Share ceritamu, dong!

"Halo, Cantik!" [COMPLETED]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora