Artikel 4: "Fenomena Hantu Belanda dalam Perhantuan Lokal"

319 87 7
                                    


Telepon hantu itu.... nyata? - Sani

*

*

"SAYA akan temui kamu, malam ketujuh, dengan membawa mawar merah."

Gawat.

Ini gawat!

Sejak keluar dari ruangan Natasha kira-kira lima menit lalu aku masih berdiri mematung di depan pintu lift. Otakku perlu waktu untuk memproses apa yang baru saja terjadi.

"Halo, Cantik...."

Sapaan yang diucapkan dengan suara husky nan kering itu terngiang lagi di telinga. Bulu kudukku kembali meremang.

Tadi...

Tadi itu apa? APA?

Benarkah itu suara hantu, atau....?

Aku bergidik, tak sanggup menyesaikan kalimatku. Ada semacam ketakutan yang tak kupahami, yang membuat punggungku terasa begitu dingin. Sialnya, kini aku malah teringat lagi akan respon Natasha setelah telepon itu terputus.

"Nada sambung.... Nada sambungnya ada!"

Untuk pertama kalinya setelah kurang lebih enam bulan mengenal Natasha, baru kali ini aku lihat perempuan itu kehilangan ketenangannya. Raut wajahnya begitu pucat dan dia memberikan tatapan horor yang mungkin takkan bisa kulupakan dalam beberapa hari ke depan. "Pieter! Itu Pieter! Mitos itu beneran!"

Kalau boleh jujur, aku pun tak kalah shock. Namun, entah kenapa tadi aku malah bisa bersikap cukup realistis. Sepertinya otakku memiliki kemampuan denial yang cukup tinggi saat tengah stress, entah itu bagus atau tidak.

"Halah, palingan tadi orang iseng aja, Kak," kataku santai, mencoba untuk terlihat biasa saja. "Siapa tahu nomor tadi sekarang jadi nomor rumah, trus ada yang iseng jawab begitu karena udah terlalu sering dijahili. Kalau nggak percaya, coba aja Kak Nat hubungi nomor itu lagi. Pasti ada yang jawab. Yakin, deh!"

Sepertinya kata-kataku sukses membuat Natasha berpikir. Walau sempat terlihat ragu, perempuan itu lantas meraih ponsel Iphone 11 Pro warna putih miliknya yang tergeletak di meja dan memasukkan angka-angka tadi. Tak lupa dia menghidupkan speaker phone dan memberi kode padaku untuk ikut mendengarkan. Wajahku langsung pucat saat menyadari kalau...

...kalau tidak ada nada sambung yang terdengar....

Selanjutnya, telepon itu terputus begitu saja dan diakhiri dengan bunyi tut tut yang intens.

TING!

Bunyi pintu lift yang terbuka membuatku tersadar. Saat itu aku baru ngeh kalau sudah melamun cukup lama di depan lift. Malu, aku langsung melangkah maju sambil terus menundukkan kepala. Namun, karena sedang tidak fokus dan terburu-buru, aku menabrak sesuatu yang, sialnya, cukup besar dan kokoh. Tak ayal aku terpental mundur beberapa langkah dan sedikit oleng. Tas punggung dengan kapasitas maksimal yang kubawa akhirnya berperan serta untuk membuktikan kuatnya daya tarik gravitasi padaku, membuatku jatuh terjengkang dengan hebohnya.

BRUK!

"WOY!" semprotku galak. Padahal saat itu aku sedang mati-matian menahan malu karena sudah jatuh seperti ini di tempat umum. "Hati-ha... Haaa, SATYA?"

Aku melongo. Rupanya yang aku tabrak tadi adalah Satya, orang yang secara tidak langsung membuatku dipanggil oleh Natasha hari ini. Yang makin membuatku jengkel, alih-alih menolongku, laki-laki itu malah memberikan tatapan super datar sambil tetap memegang ponsel di tangannya. Khas Satya banget, deh!

"Halo, Cantik!" [COMPLETED]Where stories live. Discover now