Artikel 7: "Cara Menyelidiki Nomor Telepon yang Mengganggumu"

269 83 8
                                    

Otak sialan ini tiba-tiba saja memutar kembali rekaman suara yang selalu berhasil membuatku merinding.

*

*

*

"JADI, nggak bisa kalau mengecek alamat rumah dari nomor telepon, Pak?" Aku mengusap wajah dengan frustrasi.

"Betul sekali, Ibu," suara laki-laki di seberang sana menjawab pertanyaanku dengan keramahan khas customer service. "Ada lagi yang bisa kami bantu?"

Lelah, aku langsung menggeleng—lupa kalau customer service a.k.a operator 108 itu takkan bisa melihat ekspresiku. Saking frustasinya, aku langsung saja menutup sambungan telepon saat laki-laki itu tengah mengucapkan salam penutup. Semoga saja dia tidak sakit hati.

Setelah meletakkan ponsel ke meja, aku segera memijat kening yang terasa berdenyut. Di kepalaku sekarang sedang terjadi peperangan antara logika vs realita. Secara logika, menurutku telepon hantu itu tidak masuk akal. Aku percaya mahluk halus dan teman-temannya itu ada, tapi pandanganku sedikit berbeda untuk telepon hantu. Sama seperti saat melihat film Ringu, bagian saat Sadako menelepon calon korbannya selalu membuat sebelah alisku terangkat—walau itu tidak mengganggu kenikmatanku menonton film horor legendaris tersebut. Buktinya aku tetap saja menjerit heboh setiap kali adegan hantu berambut ikonik itu merangkak keluar dari televisi.

Itu secara logika.

Oke, mungkin aku sudah membuat kesalahan mendasar dengan bawa-bawa logika dalam hal pergaiban. Lha wong keberadaan hantu saja sudah tidak logis dan tidak bisa dibuktikan secara ilmiah, kan? Jadi, yah, mungkin saja hantu yang bisa pakai telepon itu betul-betul ada dan telepon hantu itu mungkin terjadi. Lagipula, realitanya, Natasha dan Satya juga mencoba menelepon nomor itu tapi tak ada nada sambung yang terdengar. Sedangkan aku....

Lamunanku terputus sampai sana. Otak sialan ini tiba-tiba saja memutar kembali rekaman suara yang selalu berhasil membuatku merinding.

"Halo, Cantik...."

"HUAAA!" Refleks aku menjerit panik dan menutup telinga sambil menggeleng-gelengkan kepala. Rambut-rambut halus di tangan dan tengkukku mendadak berdiri. Aku merinding. Detik berlalu, tiba-tiba aku ingat kalau.... kalau saat ini aku tengah berada di sebuah kafe di bilangan Jalan Dipati Ukur, dan... ups, wajahku langsung memerah saat melihat beberapa pengunjung kafe—termasuk seorang pelayan yang tengah mengantarkan pesanan—menoleh ke arahku dengan ekspresi mengecam.

"Ah...." Aku meringis malu. Wajahku memanas. "Maaf, maaf...." gumamku gugup sambil memundurkan tempat duduk supaya bisa membungkuk dan menyembunyikan wajah di balik laptop yang tengah menyala. Tak lupa kutarik hoodie oversized sweaterku semaksimal mungkin hingga nyaris menutupi wajah. Semoga saja orang-orang ini segera fokus pada kegiatan mereka masing-masing dan kembali mengabaikanku.

Butuh waktu hampir satu menit hingga aku cukup berani untuk kembali mengangkat wajah dan memindai sekitarku. Hufth, syukurlah! Aku mengembuskan napas lega. Sepertinya pengunjung lain sudah kembali sibuk dengan urusan masing-masing, dan itu artinya aku bisa fokus dengan pekerjaanku lagi.

Ya, gara-gara insiden semalam dan juga 'kejutan' yang kutemukan tadi pagi, pikiranku betul-betul jadi tidak fokus. Walau sudah makan dan memelototi laptop selama berjam-jam, tak ada satu artikel pun yang kuhasilkan. Padahal Natasha sudah mengirim WA, mengingatkanku untuk mengirim sisa artikel paling lambat sore ini.

Karenanya, demi kefokusan kerja, aku memaksakan diri untuk pindah ke kafe langgananku untuk makan siang, minum kopi, dan tentu saja bekerja. Satu jam pertama, semua berjalan lancar dan dua artikelku selesai. Namun saat akan mencicil artikel untuk minggu depan, tiba-tiba saja keisenganku kumat. Penyebabnya karena aku tak sengaja melihat notifikasi kalau artikelku semalam sudah tayang di Hype Bandung dengan judul yang sudah diubah oleh Natasha:

"Halo, Cantik!" [COMPLETED]Where stories live. Discover now