Artikel 22: "Apa yang Harus Dilakukan Setelah Menyadari Perasaanmu Sendiri"

236 72 14
                                    

SATYA terdiam sambil menatap ponselnya. Ekspresi wajahnya muram. Walau tak mengatakan apa-apa, aku tahu apa yang ada di pikirannya—dan itu tentang Candi.

"Gue... Gue nggak nyangka Candi pergi secepat ini," suaranya terdengar parau. "Dia masih muda. Masih punya banyak cita-cita yang pengin dia kejar. Gue...."

Aku terdiam.

Perasaanku sesak.

Sejak semalam aku terus menyalahkan diriku akan kematian Candi, dan pagi ini aku harus mendengar berita itu lagi dari Satya. Rasanya semua air mata yang kukeluarkan semalam tiba-tiba kembali lagi mengisi pelupuk mataku.

"Lo nggak apa-apa, San?"

Tangan Satya bergerak untuk menggenggam tanganku. Ini bukan kali pertama tangan kami saling menggenggam, tapi ini pertama kalinya aku merasakan aliran listrik saat kulit kami bersentuhan. Wajahku memanas dan, uh oh, jantungku kembali berdegup tak keruan. Namun kali ini aku tahu alasannya.

Aku menyukai Satya.

"San? Lo baik-baik aja?" Nada suara Satya terdengar khawatir. "Lo kepikiran soal Candi?"

"Ah..." aku berdeham gugup. "A-aku ke toilet dulu!" Tanpa menunggu jawaban dari Satya, aku segera berderap menuju kamar mandi dan menguncinya.

Setelah yakin kalau pintu itu tertutup rapat, aku bersandar dibelakangnya dan merosot duduk. Jantungku masih berdebar tak keruan, dan aku butuh waktu untuk membuat detaknya kembali normal.

Ya, aku suka Satya.

Dan entah kenapa kurasa mungkin aku sudah lama menyukainya. Aku hanya telat menyadarinya, itu saja. Setelah kupikir-pikir, selama ini aku selalu mengandalkan Satya. Dia juga selalu ada setiap kali aku memerlukan tempat untuk bersandar. Bahkan kini aku cukup yakin untuk mengatakan kalau aku MUNGKIN tidak pernah sungguh-sungguh menyukai Candi.

Bagiku, Candi adalah sosok ideal yang didambakan oleh setiap perempuan. Karakternya baik, penampilan menawan, karier cemerlang—betul-betul sosok yang akan mendapatkan persetujuan dari calon mertua dengan mudah. Namun apakah aku betul-betul menyukainya? Aku tak yakin. Berbeda dengan perasaanku pada Satya saat ini.

Aku menyukai Satya.

Sangat.

Dan itu menyedihkan, karena aku mungkin saja akan menjerumuskannya ke dalam bahaya.

Hufth....

* * * * *

"MAKAN dulu, Sat." Kusodorkan mangkuk berisi bubur instan pada Satya. Namun mangkok itu lantas kuletakkan di nakas supaya aku bisa membantu Satya untuk duduk. Setelah itu aku mengecek dulu berapa suhu tubuhnya sekarang. 37,5 derajat Celcius. Baguslah!

"Jadi gimana, Dok?" ledek Satya sambil mengelus ujung kepalaku. "Gue pasien yang baik, kan?"

"Mentang-mentang sudah mendingan, mulai ngelunjak lagi kamu, ya!" omelku sambil kembali menyodorkan mangkuk bubur itu. Tak lupa aku meletakkan obat penurun panas di nakas. "Makan dulu, terus minum obat, ganti baju, terus tiduran lagi. Kalau semua udah dilakukan, baru bisa disebut pasien yang baik."

"Nggak bisa, San!" protes Satya. "Gue udah mendingan, kok! Abis gue makan dan minum obat, kita keliling lagi nyari rumah hantu sialan itu! Kita—WOY! Lo ngapain pegang garpu kayak gitu?" Satya mendelik saat melihatku memegang garpu dengan posisi mengancam. Akhirnya dia mendengus pasrah. "Iya, iya, terserah lo aja, San."

Melihat pasienku sudah mulai bisa dikendalikan, aku mengembuskan napas lega. Perasaanku menghangat; membuatku sesak, sekaligus sedih.

Tidak.

Aku tidak boleh menyukai Satya.

Tidak selama masalah ini belum berakhir.

Aku tak boleh menjerumuskan orang lain lagi dalam masalahku ini!

Merasa tak sanggup untuk menahan air mataku lebih lama lagi, aku segera berdiri dan bersikap seperti akan ke pantry. Namun kemudian....

"San...." suara panggilan Satya membuatku terdiam. Buru-buru kuhapus air mata yang terlanjur menitik di ujung mataku. Jangan sampai dia melihat air mataku. Saat menoleh ke arahnya, kulihat Satya memaksakan diri untuk mengulas senyum di wajahnya yang masih pucat itu. "Tentang Candi. Ini bukan salah lo. Ini takdir. Oke? Dan—"

Dia berhenti sejenak untuk mengambil napas.

"Ingat kata-kata gue kemarin. Setelah masalah ini selesai, gue pengin ngomong sesuatu sama lo. Jadi, kita harus bisa melewati malam ini. Lo nggak sendiri, San. Ingat itu."

Gue pengin ngomong sesuatu sama lo.

Lo nggak sendiri.

Aku menggigit bibir.

Perasaanku nyaris tumpah begitu saja.

Kata-kata itu membuatku yakin untuk melakukan sesuatu yang sudah kupikirkan sejak tadi pagi. Sesuatu yang berat untuk kulakukan, tapi harus.

Ya, ini saatnya untuk mengucapkan selamat tinggal pada Satya. []

"Halo, Cantik!" [COMPLETED]Where stories live. Discover now