Artikel Penutup: "Pieter van Cloon"

474 102 8
                                    

*** Part ini sebagai bonus sekaligus salam perpisahan untuk readers yang sudah mendukung "Halo, Cantik!" dari awal sampai tamat. Semoga kalian suka, ya! ***

*
*
*

BERAT.

Napasku terasa berat, dan sakit.

Semakin lama aku semakin sulit memasukkan oksigen ke paru-paru. Kepalaku pening, dan pandanganku sedikit buram saat mencoba menggerakkan tubuh sedikit saja.

Lemah.

Apa aku akan mati sekarang?

Bayangan tentang kematian membuatku mengulas senyum sinis. Dua puluh dua tahun hidup di dunia—tujuh tahun di antaranya kuhabiskan di bumi Hindia ini—rasanya baru kali ini keputusasaan menjeratku dengan begitu kuatnya. Mengurungku dalam ruang gelap tanpa cahaya sedikitpun. Dan semua itu terjadi setelah Papi dan Mami bilang kalau Sekar mengkhianatiku.

"Gadis pribumi itu tidak mau lagi menjadi perawatmu, Pieter," kata Papi saat itu. "Kamu terlalu lemah. Mudah sakit. Dia lebih suka laki-laki pribumi yang kuat. Mereka kawin lari."

Sekar....

Aku menggigil. Kenyataan kalau Sekar meninggalkanku membuatku marah. Namun, di sisi lain aku tak bisa mempercayai itu. Sekar yang kutahu bukanlah pengkhianat. Apalagi kami punya janji untuk melarikan diri dari Papi, Mami, dan orang-orang yang menentang hubungan kami, lalu hidup bahagia di suatu tempat yang asing.

Apa jangan-jangan Papi melakukan sesuatu pada Sekar?

Bayangan kalau Papi telah menyingkirkan Sekar berkelebat di kepalaku. Ya, Papi bisa saja melakukan itu. Bukankah dia pernah menembak mati salah satu warga sini yang melawan saat akan ditarik untuk ikut kerja rodi? Papi juga pernah memerintahkan ajudannya untuk menyiksa salah satu pelayan di sini yang memaki kami dengan sebutan penjajah? Itu terjadi setelah pelayan itu tahu kalau suaminya dibunuh karena kerap berkumpul dengan pribumi lain yang diduga sebagai pemberontak.

Ya, bisa jadi Papi melakukan itu pada Sekar: membunuhnya supaya aku tak melarikan diri dengannya, kemudian mengatakan kalau dia meninggalkanku.

Sekar...

Kamu di mana?

Maafkan aku yang tak berdaya.

Semua tanda tanya tentang menghilangnya Sekar menjadi siksaan yang melemahkanku; membunuh diriku sedikit demi sedikit; hingga akhirnya tak ada yang bisa kulakukan selain berbaring di tempat tidur dan berharap malaikat kematian akan datang untuk membebaskanku.

Maafkan aku, Sekar....

Padahal harusnya seminggu lagi aku akan menghubungimu, dan kita pergi dari sini—meninggalkan orang-orang yang menentang hubungan kita, lalu hidup bahagia di suatu tempat.

Perlahan, ruangan ini terasa dingin. Tubuhku mulai mulai menyerah dan melepaskan kehangatannya. Samar bisa kudengar teriakan Papi memanggil namaku dan juga tangisan Mami di sisi tempat tidurku. Namun aku tak peduli. Bahkan di saat terakhir pun aku hanya menginginkan Sekar.

Sekar yang cantik.

Rambut hitamnya yang menawan.

Tahi lalat di bawah mata kirinya yang ikut bergerak setiap kali matanya menyipit saat tertawa.

Ah....

Mataku mulai menutup.

Cahaya di ruangan ini terus memudar.

Napasku semakin berat.

Sekar, maafkan aku yang lemah.

Andai aku sehat, aku pasti akan menemuimu.

Tuhan, jika Engkau memang ada, jika kehidupan kedua itu ada, ijinkan aku memiliki tubuh yang sehat. Supaya aku bisa dengan bebas mencintai gadisku.

Napasku mulai tercekik.

Sekar, aku tidak akan ke mana-mana.

Jika kamu masih hidup, hubungi aku.

Saat itu kita akan berjalan-jalan lagi di taman bunga mawarku. Aku akan memberikan mawar merah kesukaanmu, dan kuucapkan dua kata yang selalu bisa membuatmu tersipu malu: "halo, Cantik!" []

"Halo, Cantik!" [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang