Artikel 2: "Tips Mencari Sudut Pandang Baru untuk Setiap Masalah"

431 90 7
                                    

"Nomor telepon hantu. Mau coba nulis tentang itu?" - Natasha Devi Azalea


BANGUNAN empat lantai bergaya arsitektur kontemporer yang terletak di bilangan Jalan Ciumbuleuit ini tak pernah gagal membuatku terkesima. Selain karena aku menyukai konsep arsitekturnya yang sederhana tapi elegan, deretan nama kantor yang terpampang di dekat pintu masuk itu selalu membuatku berdecak kagum. HypeBandung.news, Radio HypeBandung FM, dan Hype Bandung Production House. Keren sekali, kan? Itulah yang membuat Hype Bandung Group berbeda dari media daring lain yang rata-rata fokus mengangkat berita-berita viral dengan judul click bait saja karena cakupan bidang usahanya yang bervariasi. Itu juga yang membuatku bangga menjadi bagian dari media ini sekalipun baru sebatas jadi kontributor tetap. Kurasa semangat hypebandungismeku—istilahku untuk menyebut nasionalisme dalam lingkup Hype Bandung—pasti akan meningkat drastis setelah statusku berubah jadi penulis tetap, dan aku tak sabar menunggu saat itu tiba!

Namun, sayang, sepertinya momen itu hilalnya masih agak jauh. Walau belum mengatakan apa pun, Natasha kelihatannya tidak terlalu terkesan dengan progres perkembangan artikel opiniku yang, yah, memang belum ada progres. Bahkan aku harus sedikit menahan malu saat terpaksa mengakui kalau mengalami kebuntuan dalam proses penulisan artikel ini.

"Kira-kira seperti itu, Kak," aku menutup sesi konsultasi-garis miring-curhat dengan editorku itu sambil meringis pasrah. "Saya masih kesulitan menulis artikel mendalam tentang urban legend. Kalau sebatas artikel viral, nggak masalah. Masih bisa saya akali dengan merangkum dari berbagai sumber, mengolahnya dengan bahasa sendiri, dan—"

"Sebentar."

Selaan Natasha membuatku langsung terdiam. Perasaan gugupku tiba-tiba meningkat saat perempuan berambut bob sebahu itu mulai mengetuk-ngetukkan jemarinya ke meja kerja. Setelah jeda singkat, perempuan itu kembali melanjutkan.

"Jadi? Masalahnya di mana?"

Kepalaku mendadak gatal dan aku tak bisa menahan diri untuk menggaruknya—tentu saja sambil memamerkan cengiran pasrahku. Setelah menimbang untuk beberapa saat, kuputuskan untuk bicara apa adanya.

"Saya belum tahu harus nulis apa," jawaban polos itu tiba-tiba saja meluncur dari mulutku yang langsung buru-buru kuralat. "Maksudnya, saya pengin nulis sesuatu yang baru. Oke, saya tahu kalau nggak ada yang betul-betul baru di dunia ini. Sebetulnya saya nggak keberatan dengan topik yang sudah sering dibahas, kayak soal hantu Nancy dan lain-lain. Tapi setidaknya saya pengin nulis dengan pendekatan lain, dan itu yang belum ketemu, Kak."

Udara di ruangan mungil berukuran 2 x 2,5 meter ini terasa makin sesak karena Natasha tidak juga memberikan respon. Aku mulai gelisah. Sebetulnya aku pengin sekali memecahkan kesunyian ini dengan mengatakan sesuatu—lelucon konyol kek, atau apa pun—tapi jujur kali ini aku tak berani. Selain karena ini pertama kalinya aku bekerja di bawah Natasha secara langsung, perempuan ini sekaligus menjadi kepala editor di Hype Bandung. Wajar kalau aku merasa tegang dan gugup, bahkan mendadak jadi ekstra formal di hadapannya, kan? Apalagi, Ibuk pasti akan melemparku dengan sandal kalau beliau tahu aku bersikap kurang ajar di depan atasanku sendiri.

Namun aku melongo saat melihat perempuan di depanku itu tiba-tiba terkikik kecil.

"Santai aja, San," dia tertawa geli sambil menyugar rambutnya. "Gue nggak gigit, kok. Gue ngerti susahnya nulis artikel kayak gini, apalagi untuk pemula dalam bidang ini."

Aku baru saja akan mengembuskan napas lega saat Natasha kembali menyela.

"Tapi, gimana pun, lo harus tahu kalau kita punya deadline," nada suaranya kembali terdengar serius. "Lo tahu, kan, kalau urban legend ini jadi section baru di Hype Bandung yang diharapkan dapat mencuri spot menjelang perayaan Halloween. Awalnya gue yang nulis sendiri semua artikel di bagian ini. Tapi lama-lama keteteran juga. Makanya gue minta Candi buat nyariin kontributor yang bisa bantuin, karena nggak semua mau menulis artikel yang berkaitan dengan hantu-hantuan. Lo ngerti maksud gue, kan?"

"Tapi, kenapa saya, Kak?" Akhirnya aku tergelitik untuk menanyakan itu. Namun kemudian aku sedikit menyesal. Bukankah pertanyaan itu berarti aku mempertanyakan kompetensiku sendiri?

Untungnya Natasha kelihatan tidak ambil pusing dengan itu. Dia hanya sedikit mengangkat bahunya.

"Gue juga nggak tahu," katanya santai. "Tapi, dari pada mikirin itu, mending fokus sama apa yang harus kita kerjain. Artikel lo, misalnya. Ingat, selama bulan Oktober ini kita harus naikin minimal dua artikel urban legend per-hari. Maklum, momen saat orang-orang banyak yang bekerja dan sekolah dari rumah seperti sekarang ini jadi waktu yang tepat untuk panen traffic pembaca. Ini sudah longgar banget kalau mengingat section lain harus up berita hingga belasan judul per-hari. Lo ngerti, kan, San?"

Itu... Benar, sih... Karenanya aku tak bisa membantah dan hanya bisa mengangguk saja.

"Ngerti, Kak," kataku sambil sedikit mengembuskan napas panjang. "Baik, kalau gitu saya minta waktu sedikit lagi untuk nyari ide. Saya usahakan setor satu artikel malam ini."

Namun, baru saja akan melangkah pergi, terdengar suara Natasha memanggilku.

"Bentar, San, gue baru ingat sesuatu."

Heh?

Saat aku menoleh, kulihat Natasha seperti tengah berpikir keras. Perempuan itu lantas mengambil selembar memo dari meja dan menuliskan sesuatu di sana.

"Mungkin ini bisa jadi ide tulisan buat lo," katanya sambil menyodorkan kertas itu.

Walau bingung, aku meraih kertas itu. Keningku sedikit berkerut saat melihat ada sederetan angka di sana.

"710XXXX?" Aku bingung. "Ini apa, Kak?" Dan aku langsung mendelik saat menyadari Natasha menatapku serius.

"Nomor telepon hantu. Mau coba nulis tentang itu?" []

*
*
*
*
*
*

Kata Vie:

Telepon hantu termasuk salah satu urban legend populer tahun 90-an hingga awal 2000-an, atau saat telepon rumah sedang ngetren di Bandung. Salah satu nomor yang cukup populer (walau level popularitasnya di kalangan terbatas saja) adalah nomor telepon milik hantu bernama Anthony, yang kabarnya hanya akan mengangkat telepon dari perempuan yang dianggapnya cantik saja. Yups, mitos tersebut menjadi inspirasi dari cerita ini, tentunya dengan beberapa penyesuaian supaya lebih sesuai dengan tema cerita ini.

Next saya pengin cerita lebih lanjut tentang urban legend yang satu ini. Kisah aslinya lumayan bikin merinding disko sih, huhu... Tapi sebelum itu, kepo nih. Apa urban legend yang paling berkesan di kota kalian? Share ceritamu dong!

Regards,
Vie Asano (Instagram: VieAsano)

"Halo, Cantik!" [COMPLETED]Where stories live. Discover now