Artikel 9: "Manfaat Coklat dan Kafein untuk Meredakan Stress"

256 82 3
                                    

SEMULA kupikir Satya akan mengajakku ke sebuah tempat yang cukup jauh dari kantor—misalnya saja, Punclut—dan meninggalkanku di sana tanpa alasan jelas. Aku cukup mengenal Satya untuk tahu kalau laki-laki ini sangat mungkin melakukan kerandoman kejam seperti itu. Namun ternyata, alih-alih menculikku, Satya ternyata membawaku ke Crémelin, sebuah kafe kecil di Jalan Abdul Rivai—tak jauh dari persimpangan Jalan Cihampelas dan Jalan Wastukencana, atau kira-kira sepuluh menitan naik motor dari kantor Hype Bandung.

"Hah? Crémelin?" Aku ternganga untuk kesekian kalinya di hari ini. Tempat ini sudah lama menjadi salah satu wishlistku karena konsep interiornya yang lucu ala Japanese minimalist. Namun sampai saat ini belum kesampaian karena satu dan lain hal. Kenapa Satya membawaku ke sini?

Saat masih bengong menatap ke arah pintu masuk kafe itu, tiba-tiba pipiku dicubit sampai-sampai aku mengaduh keras.

"AWW!" Aku mendelik. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Satya?

"San, lo tuh kebiasaan banget ngelamun di tempat umum, ya!" Satya berdecak heran. Tanpa mempedulikan tatapan sebal dariku, laki-laki itu lantas menyambar helm dari tanganku dan menyangkutkannya ke spion motor Yamaha Byson miliknya. "Yuk!"

"Yuk? Ta-tapi...." Sebetulnya aku pengin sekali bilang kalau sedang hemat. Gara-gara waktu itu memaksakan diri nongkrong di kafe untuk menyelesaikan target artikel, alhasil sekarang aku harus ekstra hemat karena akhir bulan masih beberapa hari lagi. Bukannya tak punya uang, sih, tapi sedikit berhemat tak masalah, kan?

"Kenapa?" Satya mengerutkan kening. Namun kemudian dia mendengus geli. "Kalem. Gue traktir."

Gue traktir.

Dua kata itu sukses membuat aku ternganga dengan ekspresi yang menakjubkan, sampai-sampai Satya harus menarikku masuk ke dalam kafe dan mengajakku duduk di kursi lesehan. Yah, semoga saja hari ini hujan badai tidak turun gara-gara Satya mentraktirku!

* * * * *

"JADI, lo mau dijodohin sama orang tua lo?" Satya terbelalak. "Dan calonnya itu mantan lo pas SMA?"

Aku mengerang kesal. Kenapa tadi aku lemah sekali, ya? Hanya karena disogok dua potong choux, sepotong cake, dan segelas Ice Caffe Latte, ditambah dengan kalimat tanya "Lo keliatan bete banget. Kenapa?" tiba-tiba saja mulutku tidak bisa direm. Semua tentang perjodohan itu pun meluncur begitu saja tanpa sensor, termasuk soal latar belakang Randu.

"Trus lo mau? Kali-kali aja cinta lama bersemi kembali, gitu."

Pertanyaan usil itu membuatku langsung menancapkan garpu tepat di tengah-tengah choux yang ada di depanku dan melempar tatapan laser ke arah Satya.

"Muatamu!" desisku sebal.

Tak disangka responku itu malah membuat Satya terbahak-bahak. Laki-laki itu bahkan sampai harus menutup mulutnya supaya suara tawanya tidak sampai mengganggu pengunjung lain. Maklum, kafe ini lumayan mungil dan saat ini kapasitasnya berkurang dari biasanya karena mengikuti protokol pencegahan Covid 19. Otomatis suara sekecil apa pun pasti bisa langsung terdengar oleh seantero kafe.

"Sori, sori. Abis lo lucu kalau lagi ngambek sih, San," Satya mengusap matanya yang sedikit berair. "Kadang medok lo keluar gitu deh. Makanya gue seneng banget gangguin lo."

Sungguh bukan sebuah jawaban yang bisa membuat suasana hatiku membaik. Demi mengalihkan perhatian dari keinginan untuk menyiram minumanku pada Satya, aku buru-buru menyumpalkan potongan besar choux ke mulutku dan lanjut menyeruput Caffe Latte yang sebagian esnya mulai mencair itu.

Pengaruh kafein dari kopi yang kuminum, ditambah dengan manisnya choux coklat, berhasil membuatku sedikit lebih tenang. Suara tawa cekikikan Satya pun tak lagi terdengar mengganggu. Malah setelah menghabiskan kedua choux dan siap menyantap potongan cake, aku sudah bisa ikut tertawa walau masih sebatas tawa garing nan datar.

"Halo, Cantik!" [COMPLETED]Where stories live. Discover now