Artikel 20: "Tidak Ada Cara Mudah Untuk Menyelesaikan Masalah"

230 77 6
                                    

KALAU mengikuti alur dalam film horor atau misteri yang pernah kulihat, harusnya penyelesaian untuk masalahku tidak sulit-sulit amat. Kurang lebih seperti teori yang sudah dijabarkan Satya dalam dokumen sepanjang 20 lembar A4 itu.

Singkatnya seperti ini.

Pertama, cari dulu sumber kutukannya di mana. Dalam hal ini, kutukan itu—aku pribadi lebih suka menyebut fenomena ini sebagai dihantui, sih—dimulai sejak aku menelepon ke nomor telepon hantu. Berarti aku harus mencari lokasi pusat dari telepon hantu itu, atau mencari rumah tempat telepon itu berada.

Kedua, hancurkan sumber kutukan, dan selesai. Mungkin di sini perlu sedikit pengorbanan dari tokoh utama. Namun setelah sumber itu dihancurkan, tokoh utama akan terbebas dari kutukan dan hidup bahagia—kecuali jika ada plot twist di akhir cerita.

Harusnya sesederhana itu, kan?

Namun ternyata, dalam kasusku, plot twist muncul sedikit lebih awal. Ternyata, mencari lokasi rumah Pieter itu tidak semudah yang dibayangkan. Oh, oke. Jangan salah. Aku selalu tahu kalau ini takkan mudah. Namun, jujur saja, aku tak pernah mengira akan sesulit ini!

"Apa yang salah, ya?" gumam Satya bingung sambil meneliti daftar tempat yang telah kami kunjungi sepanjang sore ini. Sebelah tangan lainnya memandangi Google Maps di layar ponselnya dan menggeser layarnya beberapa kali. "Kita udah keliling di sekitar Jalan Jakarta dan Jalan Supratman, tapi nggak ada yang bisa dicurigai jadi rumah Pieter. Nggak ada yang sesuai dengan kriteria itu."

Aku terdiam dan hanya menyeruput Ice Caffee Latte pesananku. Sama seperti Satya, aku pun bingung.

Sepanjang sore tadi kami sudah mengitari kedua ruas jalan tersebut. Berdasarkan teori Satya, kemungkinan rumah yang kami cari memiliki ciri-ciri rumah peninggalan Belanda dan kemungkinan besar dalam kondisi kosong. Namun setelah hampir tiga jam mengelilingi dua jalan tersebut, termasuk keluar masuk alan kecilnya, kami belum juga menemukan rumah yang kira-kira sesuai dengan kriteria itu. Rumah tua, sih, ada. Sepertinya peninggalan jaman Belanda. Namun yang kosong tidak ada. Begitu juga sebaliknya, rumah kosong sih ada beberapa. Sayangnya bangunan-bangunan itu paling tua umurnya 20-30 tahunan saja.

"Atau mungkin itu bukan rumah kosong?" Satya mengusap wajahnya. "Atau rumahnya sudah direnovasi, tapi roh Pieter masih tertahan di sana? Kita harus mulai lagi dari awal, San. Kita—"

"Nggak!" tukasku cepat. "Kita bisa kembali lagi kapan-kapan, tapi sekarang makan dulu!" tegasku sambil menunjuk mangkuk bubur Satya yang masih tersisa setengahnya.

Setelah mengatakan itu, diam-diam aku mulai menghitung dalam hati. Satu, dua, tiga...

"Tapi, San!"

Nah, kan? Pasti dia protes! Betul-betul susah diatur!

"Makan!" Aku mendelik galak. "Abis makan, minum obat, baru kita obrolin lagi soal ini. Lagipula...."

Aku menghela napas panjang dan memainkan sedotan minumanku. Bingung bagaimana akan mengatakan ini.

"San? Kenapa?" Satya mengerutkan keningnya.

"Yah... Aku sudah tahu pasti nggak akan semudah itu," aku menghela napas panjang. "Jadi memang aku nggak terlalu berharap juga kita bisa langsung dapat di waktu secepat ini. Dan bahkan aku nggak yakin kita bisa nemuin rumah Pieter."

Ada keheningan ganjil yang tercipta setelah aku mengatakan itu. Mungkin Satya akan menganggap aku tak tahu diri. Dia sudah berusaha membantuku, tapi aku malah pesimis seperti ini. Menyebalkan, kan?

"Maaf, aku cuma jujur saja," kataku. "Kita harus realistis juga, Sat. Nggak akan semudah menemukan rumah Pieter. Kalau nggak, pasti rumahnya sudah ramai didatengin sama orang-orang yang pengin uji nyali. Iya, kan?"

"Halo, Cantik!" [COMPLETED]Where stories live. Discover now